Rabu, 18 Agustus 2010

kriteria orang asli Papua

definisi/kriteria orang asli Papua menurut pasal 1 huruf f yang berbunyi : kriteria orang asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri dari suku-suku asli di Provinsi Papua dan/atau orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli papua oleh masyarakat adat papua. dapat kita artikan; Pertama : mengikuti garis keturunan ayah (patrilineal) dengan pengertian, yang berasal dari ras rumpun melanesia; Kedua : yang diakui dengan pengertian bahwa kriteria orang asli papua mengikuti garis keturunan Ibu (matrilineal) yang digambarkan melalui sistem kekerabatan dari suku-suku di Papua, secara tersirat melalui tindakan mengakui anak dari saudari perempuan mereka sebagai bagian dari mereka; Ketiga; diterima, pengertiannya adalah orang non papua yang lahir dan/atau lama menetap di Papua, diangkat serta mendapat penghargaan tersendiri dari orang Papua.

hak konstitusional di Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH
Dalam sistem pemerintahan di Indonesia sejak reformasi menciptakan iklim demokrasi yang terus berkembang. Zaman orde baru dengan pemerintahan yang sentralistik membuat banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi sehingga tidak ada kebebasan masyarakat untuk menyampaikan pendapatnya secara baik.
Dengan perkembangan sejak reformasi maka kran demokrasi dibuka selebar-lebarnya dengan amandemen konsitusi yang melindungi pengakuan terhadap hak konstitusional warga negara Indonesia. Amandemen UUD 1945 mengubah tatanan menuju negara demokrasi serta negara hukum (nomokrasi).
Pembentukan lembaga negara baru turut membawa perubahan di Indonesia dengan terbentuknya Mahkamah Konstitusi sebagai bentuk kekuasaan kehakiman yang mendeka dan independen. Pembentukan lembaga ini salah satu tujuannya adalah pengakuan hak konstitusonal warga negara yang sebelumnya tertindas dalam pemberlakuan suatu UU yang bertentangan dengan kehidupan bermasyarakat yang tercermin dalam UUD 1945 sehingga setiap orang dapat mengajukan permohonan uji materiil suatu UU terhadap UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitusi.
Masa reformasi juga membuat pengakuan terhadap Hak Asasi Manusia dalam amandemen UUD 1945 turut membawa perubahan terhadap hak konstitusional warga begara yang dijamin oleh UUD 1945. Hak-hak individu maupun kelompok dijamin oleh UUD 1945 tetapi apakah sudah dilaksanakan? Tentu pertanyaan ini muncul karena pengakuan hak konstitusional baru berlaku setelah amandemen UUD 1945 masa keanggotaan MPR periode 1999-2004. Oleh karena itu, pertumbuhan demokrasi akan terus berkembang seiring dengan perkembangan pemerintahan berlangsung.

B. RUMUSAN MASALAH
Dengan melihat latar belakang permasalah tersebut diatas, maka rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan hak konstitusional warga negara ?
2. Apa saja hak konstitusional yang terkandung dalam amandemen UUD 1945?
3. Sejauh mana pengakuan hak konstitusional yang dijamin UUD 1945 ?













BAB II
PEMBAHASAN

A.Hak Konstitusional Warga Negara
Hak konstitusional (constitutional right) menurut Prof. JImly Asshiddiqie adalah hak-hak yang dijamin di dalam dan oleh UUD 1945 . Setelah amandemen UUD 1945 yang merupakan konstitusi negara Indonesia maka prinsip-pinsip HAM telah tercantum dalam konsitusi Indonesia sebagai ciri khas prinsip konstitusi modern. Oleh karena itu prinsip-prinsip HAM yang tercantum dalam UUD 1945 adalah merupakan Hak konstitusional Warga Negara Indonesia.
Dalam suatu negara hukum yang lahir dari konstitusionalisme harus bercirikan : (1) adanya perlindungan HAM, (2) adanya peradilan yang bebas dan (3) adanya asas legalitas. Oleh karena itu, hak konstitusional warga negara harus di jamin dalam konstitusi sebagai bentuk pengakuan HAM serta adanya peradilan yang independen tidak terpengaruh oleh penguasa dan segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas hukum.
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan setiap manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh Negara, Hukum, Pemerintahan, dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Artinya, yang dimaksud sebagai hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap pribadi manusia. Karena itu, hak asasi manusia (the human rights) itu berbeda dari pengertian hak warga negara (the citizen’s rights). Hak warga negara adalah Hak-hak yang lahir dari peraturan di luar undang-undang dasar disebut hak-hak hukum (legal rights), bukan hak konstitusional (constitutional rights). Sedangkan Hak asasi Manusia yang terkandung dalam konstitusi dapat disebut sebagai hak konstitusional warga negara.
Dalam pasal 26 UUD 1945 ayat (1) yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara . Pengakuan hak konstitusional yang menjadi subyek adalah warga Negara Indonesia sehingga siapa pun yang diakui serta disahkan oleh undang-undang sebagai warga negara Indonesia maka ia mempunyai hak yang sama dalam bidang apa pun, entah mungkin sebelumnya ia adalah warga negara asing yang tinggal di Indonesia dengan masa tertentu dan mengusulkan untuk menjadi warga negara Indonesia maka ia akan memperoleh hak yang sama dengan bangsa Indonesia asli kecuali dalam kedudukannya sebagai calon Presiden dan wakil presiden harus orang Indonesia asli.(pasal 6 UUD 1945).
Pengertian-pengertian hak warga negara juga harus dapat dibedakan antara hak konstitusional dan hak legal. Hak kosntitusional (constitutional right) adalah hak-hak yang dijamin di dalam dan oleh UUD 1945, sedangkan hak-hak hukum (legal right) timbul berdasarkan jaminan undang-undang dan peraturan perundang-undangan dibawahnya (subordinate legislations). Setelah ketentuan tentang hak asasi manusia diadopsikan secara lengkap dalam UUD 1945, pengertian tentang hak asasi manusia dan hak asasi warga negara dapat dikaitkan dengan pengertian “constitutional rights” yang dijamin dalam UUD 1945. Selain itu, setiap warga negara Indonesia memiliki juga hak-hak hukum yang lebih rinci dan operasional yang diatur dengan undang-undang ataupun peraturan perundang-undangan lain yang lebih rendah. Hak-hak yang lahir dari peraturan di luar undang-undang dasar disebut hak-hak hukum (legal rights), bukan hak konstitusional (constitutional rights).
(1) Hak Konstitusional dan HAM
Kaitan antara hak konstitusional dan HAM adalah ketika kita masukan bentuk-bentuk perlindungan Hak Asasi Manusia ke dalam konstitusi negara maka konsep HAM tersebut merupakan hak konstitusional dari setiap warga negara yang berada di wilayah suatu negara tertentu.
Ditetapkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) oleh Majelis umum pada tanggal 10 Desember 1948 merupakan langkah maju paling bersejarah dalam meningkatkan peradaban HAM di tataran nasional dan internasional. Deklarasi yang terdiri atas satu naskah gabungan ini mencakup hampir semua hak asasi dan kebebasan mendasar yang kita kenal sekarang.
Ketika komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menyelesaikan pembuatan deklarasi ini dan membuat rancangan konvensi-konvensi hak asasi manusia yang akan mengikat secara hukum bagi negara-negara yang meratifikasinya, komisi tersebut mempertanyakan apakah sebaiknya dibuat satu atau dua kovenan. Pertanyaan ini dikembalikan kepada Majelis Umum yang dalam resolusi yang ditetapkan pada tahun 1950 menekankan sifat intradependensi semua kategori hak asasi manusia dan menyerukan agar komisi ini menetapkan konvensi terpisah. Akan tetapi tahun berikutnya, negara-negara barat dapat membalikkan keputusan tersebut dengan cara meminta Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk membagi hak yang dimuat di dalam DUHAM menjadi dua kovenan internasional yang terpisah, yaitu satu kovenan tentang hak sipil dan politik (SIPOL) dan kovenan lain tentang hak ekonomi, sosial dan budaya (EKOSOSBUD).
Hasilnya, umumnya Piagam Hak Asasi Manusia dianggap secara keseluruhan memiliki dua kategori hak asasi manusia yang berbeda. Hak sipil dan politik (1) dan Hak Ekonomi, sosial dan budaya (2).
Indonesia merupakan negara yang turut meratifikasi Kovenan hak sipil dan politik serta hak ekonomi, sosial dan budaya dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia merupakan jaminan pengakuan HAM oleh negara terhadap warga negara Indonesia sehingga dalam pelaksanaan pemerintahan dapat melindungi hak-hak warga negara.
Dalam amandemen UUD 1945 atau konstitusi Indonesia telah mengakui prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) seperti hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam bentuk apa pun. (pasal 28I).
Dasar keberadaan konstitusi adalah kesepakatan umum atau persetujuan (consensus) diantara mayoritas rakyat mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara. Konstitusi merupakan konsensus bersama atau general agreement seluruh warga negara. Organisasi negara itu diperlukan oleh warga masyarakat politik agar kepentingan mereka bersama dapat dilindungi atau dipromosikan melalui pembentukan dan penggunaan mekanisme yang disebut negara.
Kepentingan paling mendasar dari setiap warga negara adalah perlindungan terhadap hak-haknya sebagai manusia. Oleh karena itu, Hak asasi manusia merupakan materi inti dari naskah undang-undang dasar negara modern. Hak Asasi Manusia (HAM), adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan setiap manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh Negara, Hukum, Pemerintahan, dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Artinya, yang dimaksud sebagai hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap pribadi manusia.
Keterkaitan antara konstitusi dengan hak asasi manusia juga dapat dilihat dari perkembangan sejarah. Perjuangan perlindungan hak asasi manusia selalu terkait dengan perkembangan upaya pembatasan dan pengaturan kekuasaan yang merupakan ajaran konstitusionalisme. Magna Charta (1215) dan Petition of Rights (1628) adalah momentum perlindungan hak asasi manusia sekaligus pembatasan kekuasaan raja oleh kekuasaan parlemen (house of commons).
Pengertian yang terpeting dari hak asasi manusia adalah hak atas kebebasan pribadi yang harus dijamin oleh negara. Pasal 7 konstitusi Belgia meletakkan prinsip-prinsip yang telah lama berlaku di inggris, di negeri tersebut. Pasal 7 berbunyi :
“Art 7. La liberté individuelle est garantie.
N ul ne peut étre poursuivi que dans les cas prévus par la loi, et dans la forme qu’elle prescrit.
Hors le cas de flagrant délit, nul peut étre arête qu’en vertu de l’ordonnance motive du juge, qui droit étre signifiée au moment de l’arrestation, ou au plus tard dans les vingt-quatre heures.”

(pasal 7. Kebebasan pribadi itu dijamin, Tak seorang pun dapat dituntut secara hukum dalam kasus sebelumnya, dan dalam bentuk yang sudah ditetapkan oleh undang-undang.
Di luar kasus tertangkap basah, tak seorang pun dapat ditangkap atas dasar peraturan yang menjadi alasan hakim, dan wajib diberitahukan pada saat penangkapan, atau paling lama dalam waktu dua puluh empat jam).

Pasal 7 ini pula yang merupakan pasal ke 39 Magna Carta yang berbunyi :
“Nullus liber homo capiatur, vel imprisonetur, aut dissaisiatur, aut utlagetur, aut exuletur, aut aliquot modo destruatur, nec super eum ibimus, nec super eum mittemus, nisi per legale judicium parium sourum vel per legem terrae,”


Setelah itu, perjuangan yang lebih nyata terlihat pula dalam Bill of Rights yang ditandatangani oleh Raja Willem III pada tahun 1689 sebagai hasil dari pergolakan politik yang dahsyat yang biasa disebut the Glorious Revolution. Glorious Revolution ini tidak saja mencerminkan kemenangan parlemen atas raja, tetapi juga menggambarkan rentetan kemenangan rakyat dalam pergolakan-per¬golakan yang menyertai perjuangan Bill of Rights itu yang berlangsung tak kurang dari enam puluh tahun lamanya.
Dalam perkembangan selanjutnya, gagasan tentang hak-hak asasi manusia banyak dipenga¬ruhi pula oleh pemikiran-pemikiran para sarjana yang terkait dengan perkembangan pemikiran konstitusi, seperti John Locke dan Jean Jacques Rousseau. John Locke dikenal sebagai peletak dasar bagi teori Trias Politica Montesquieu. Bersama dengan Thomas Hobbes dan J.J. Rousseau, John Locke juga mengembangkan teori perjanjian masyarakat yang biasa dinisbatkan kepada Rousseau dengan istilah kontrak sosial (contract social). Per¬bedaan pokok antara Hobbes dan Locke dalam hal ini adalah bahwa jika teori Thomas Hobbes menghasilkan monarki absolut, maka teori John Locke menghasilkan monarki konstitusional.
Dalam konteks hak asasi manusia, Thomas Hobbes melihat bahwa hak asasi manusia merupakan jalan keluar untuk mengatasi keadaan yang disebutnya "homo homini lupus, bellum omnium contra omnes" . Dalam keadaan demikian, manusia tak ubahnya bagaikan binatang buas dalam legenda kuno yang disebut ‘Leviathan’ yang dijadikan oleh Thomas Hobbes sebagai judul buku. Keadaan seperti itulah yang, menurut Hobbes, mendorong terbentuknya perjanjian masyarakat dalam mana rakyat menyerahkan hak-haknya kepada penguasa. Itu sebabnya pandangan Thomas Hobbes disebut¬kan sebagai teori yang mengarah kepada pembentukan monarki absolut. Sebaliknya, John Locke berpendapat bahwa manusia tidaklah secara absolut menyerahkan hak-hak indi¬vidunya kepada penguasa. Yang diserahkan, menurutnya, hanyalah hak-hak yang berkaitan dengan perjanjian negara semata, sedangkan hak-hak lainnya tetap berada pada masing-masing individu. John Locke juga membagi proses perjanjian masyarakat tersebut dalam dua macam, yang disebutnya sebagai ”Second Treaties of Civil Government” yang juga menjadi judul bukunya. Dalam instansi pertama (the first treaty) adalah perjanjian antara individu dengan individu warga yang ditujukan untuk terbentuknya masyarakat politik dan negara. Instansi pertama ini disebut oleh John Locke sebagai “Pactum Unionis” berdasarkan anggapan bahwa:
"Men by nature are all free, equal, and independent, no one can be put out of this estate, and subjected to the political power another, without his own consent, which other men to join and unite into a community for their comfortable, stafe and peaceable, living one amongst another. . . .".
Dalam instansi berikutnya yang disebutkannya sebagai “Pactum Subjectionis” Locke melihat bahwa pada dasarnya setiap persetuju¬an antar individu (pactum unionis) terbentuk atas dasar suara mayoritas. Dan karena setiap individu selalu memiliki hak-hak yang tak tertanggalkan yakni life, liberty serta estate, maka adalah logis jika tugas negara adalah memberikan perlindungan kepada masing-masing individu.
Dasar pemikiran John Locke inilah yang di kemudian haru dijadikan landasan bagi pengakuan hak-hak asasi manusia. Sebagai¬mana yang kemudian terlihat dalam Declaration of Independence Amerika Serikat yang pada tanggal 4 Juli 1776 telah disetujui oleh Congress yang mewakili 13 negara baru yang bersatu. Kalimat kedua dari Declaration of Independence tersebut membuktikan adanya pengaruh dari pemikiran John Locke
“We hold these truth to be self evident, that all men are created equal, that they are endowed by their Creator with certain unalienable rights, that among these are life, liberty, and the persuit of happiness. That, to secure these rights, government are instituted among men, deriving their just powers from the consent of the governed”.
Dengan demikian Konstitusi dan HAM saling terikat dan tidak dapat dipisahkan karena pembentukan suatu negara merupakan kesepakatan atau persetujuan masyarakat yang menginginkan hak-haknya lebih terjamin, tertib, serta aman dan terhindar dari homo homini lupus.

2. landasan berlakunya HAM dalam konstitusi Indonesia
Indonesia merupakan negara ke-60 yang resmi menjadi anggota PBB, pada tanggal 28 September 1950. Hanya kurang dari setahun sejak pengakuan kedaulatan melalui Konferensi Meja Bundar (KMB). Posisi Indonesia di dunia internasional terus menguat. Diplomat Indonesia yangditunjuk menjadi kepala Perwakilan Tetap pertama di PBB adalah L.N. Palar. Selama bergabung dengan PBB, prestasi Indonesia cukup instimewa. Indonesia tercatat telah mengirim tidak kurang dari 23 misi perdamaian melalui Kontingen Garuda, menjabat anggota tidak tetap Dewan Keamanan dua kali, ketua Komisi HAM PBB satu kali, dan rektor Universitas PBB satu kali. Indonesia sempat tercoret dari keanggotaan PBB pada 20 Januari 1965 ketika Presiden Soekarno menarik diri dari badan dunia tersebut. Namun hal itu tidak berlangsung lama karena pada 19 September 1966. Indonesia mengajukan diri sebagai anggota PBB kembali. Permohonan tersebut diterima oleh Majelis Umum PBB, sehingga terhitung sejak 28 September 1966, atau tepat 16 tahun kemudian Indonesia menjadi anggota PBB kembali hingga hari ini.
Keanggotaan Indonesia dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa inilah membuat setiap peraturan Internasional yang disepakati bersama dalam forum Perserikatan Bangsa-Bangsa ini diakui dalam setiap peraturan perundang-undangan di Indonesia, Salah satunya adalah deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Kovenan hak sipil dan politik serta Hak ekonomi, sosial dan budaya turut diratifikasi dalam Peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Dengan adanya amandemen UUD 1945 yang mengakui Hak Konstitusional warga negara dalam konsep HAM turut membawa andil keluarnya UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Hak Asasi Manusia membawa perubahan dalam tatanan pemerintahan serta tatanan berkehidupan kebangsaan.
Dahulu pemerintahan yang super power serta sentralistik tetapi dengan hadirnya Hak Asasi Manusia ini membuat negara tidak dapat sewenang-wenang melakukan suatu tindakan yang melanggar Hak Asasi warga negara.

B. Hak Konstitusional yang terkandung dalam UUD 1945
1. Sebelum amandemen UUD 1945
Dalam UUD 1945 sering disebut dengan UUD Proklamasi, dan kemunculannya bersamaan dengan lahirnya Negara Indonesia melalui proklamasi kemerdekaan, satu hal yang menarik meskipun UUD 1945 adalah hukum dasar yang tertulis yang didalamnya memuat hak-hak dasar manusia Indonesia serta kewajibannya yang bersifat dasar pula, namun istilah perkataan HAM itu sendiri tidak dijumpai didalam UUD 1945 , baik dalam pembukaan, batang tubuh maupun penjelasan dan yang ditemukan bukanlah HAM melainkan Hak dan kewajiban warganegara.
Apa saja yang merupakan hak konstitusional warga negara sebelum amandemen UUD 1945? Demikan pertanyaan yang harus di jawab dengan melihat UUD 1945 sebelum amandemen. UUD 1945 sebelum amandemen memuat hak warga negara sebagai berikut :
- Pasal 27 ayat (1) : setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan penerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
- Pasal 27 ayat (2) : tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
- Pasal 28 : kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.
- Pasal 29 ayat (2) : negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
- Pasal 30 ayat (1) : tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara.
- Pasal 31 ayat (1): tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran.
- Pasal 32 : pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia.
Ketika UUD 1945 digantikan oleh Konstitusi RIS 1949 atau yang lebih tepat disebut sebagai UUD RIS 1949, dan kemudian UUDS Tahun 1950, kedua naskah undang-undang dasar ini memuat ketentuan yang lebih lengkap tentang hak asasi manusia. Yang berperan dalam perumusan naskah UUD-RIS 1949 dan UUDS 1950 juga adalah Soepomo yang semula, ketika UUD 1945 dirumuskan, menentang pencantuman pasal-pasal tentang hak asasi manusia. Artinya, setelah tahun 1948, pandangan dan apresiasi Soepomo dan juga Soekarno turut pula mengalami perkembangan sehubungan dengan ketentuan konstitusional hak asasi manusia itu sendiri. Hal ini terjadi, karena ketika itu The Universal Declaration of Human Rights Tahun 1948 sudah ada, dan sedang sangat populer di dunia. Sayangnya, Undang-Undang Dasar 1950 tidak berlaku lagi sejak tanggal 5 Juli 1959. Mu¬lai saat itu berlakulah kembali Undang-Undang Dasar 1945 yang hanya memuat 7 pasal tentang hak asasi manusia. Itu pun dalam pengertiannya yang sangat terbatas. Bahkan sebenarnya, menurut Harun Alrasid, UUD 1945 itu sama sekali tidak memberikan jaminan apa pun mengenai hak-hak asasi manusia. Menurutnya, yang diperdebatkan antara Hatta-Yamin di satu pihak dan Soekarno-Soepomo di lain pihak, hanya berkenaan dengan substansi Pasal 28 yang akhirnya sebagai kompromi disepakati berbunyi, ”Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang” . Muhammad Hatta dan Muhammad Yamin sudah mengusulkan pencantuman jaminan hak asasi manusia disini, tetapi oleh Soekarno dan Soepomo ditolak karena hal itu mereka anggap bertentangan dengan paham integralistik. Karena itu, sebagai jalan tengahnya disepakatilah rumusan yang demikian itu. Akan tetapi, jika diamati secara seksama, Pasal 28 itu sama sekali tidak memberikan jaminan mengenai adanya pengakuan konstitusional akan hak dan kebebasan berserikat (freedom of association), berkumpul (freedom of assembly), dan menyatakan pendapat (freedom of expression). Pasal 28 itu hanya menyatakan bahwa hak-hak tersebut akan ditetapkan dengan undang-undang. Artinya, sebelum ditetapkan dengan undang-undang, hak itu sendiri belum ada.
Dengan demikian pengakuan hak konstitusional dalam UUD 1945 sebelum amandemen belum mengakui HAM sebagai hak konstitusional tetapi hanya mengatur hak dan kewajiban warga negara.

2. Pasca Amandemen UUD 1945
Sekarang, setelah amendemen UUD 1945 lebih banyak mengakui bentuk-bentuk HAM sebagai hak kostitusional warga ngara Indonesia. Materi yang semula hanya berisi 7 butir ketentuan yang juga tidak seluruhnya dapat disebut sebagai jaminan konstitusional hak asasi manusia, sekarang telah bertambah secara sangat signifikan.
Ketentuan baru yang diadopsikan ke dalam UUD 1945 setelah Perubahan Kedua pada tahun 2000 termuat dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J, ditambah beberapa ketentuan lainnya yang tersebar di beberapa pasal. Karena itu, perumusan tentang hak-hak asasi manusia dalam konstitusi Republik Indonesia dapat dikatakan sangat lengkap dan menjadikan UUD 1945 sebagai salah satu undang-undang dasar yang paling lengkap memuat ketentuan yang memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.
Pasal-pasal tentang hak asasi manusia itu sendiri, terutama yang termuat dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J, pada pokoknya berasal dari rumusan TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia yang kemudian isinya menjadi materi UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Oleh karena itu, untuk memahami konsepsi tentang hak-hak asasi manusia itu secara lengkap dan historis, ketiga instrumen hukum UUD 1945, TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 dan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia tersebut dapat dilihat dalam satu kontinum. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa ketentuan-ketentuan tentang hak-hak asasi manusia yang telah diadopsikan ke dalam sistim hukum dan konstitusi Indonesia itu berasal dari berbagai konvensi internasional dan deklarasi universal tentang hak asasi manusia serta berbagai instrumen hukum internasional lainnya.
Setelah Perubahan Kedua pada tahun 2000, keseluruhan materi ketentuan hak-hak asasi manusia dalam UUD 1945, yang apabila digabung dengan berbagai ketentuan yang terdapat dalam undang-undang yang berkenaan dengan hak asasi manusia, dapat kita kelompokkan dalam empat kelompok yang berisi 37 butir ketentuan. Diantara keempat kelompok hak asasi manusia tersebut, terdapat hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun atau non-derogable rights, yaitu:
1) Hak untuk hidup;
2) Hak untuk tidak disiksa;
3) Hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani;
4) Hak beragama;
5) Hak untuk tidak diperbudak;
6) Hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum; dan
7) Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.

Sedangkan keempat kelompok hak asasi manusia terdiri atas; kelompok pertama adalah kelompok ketentuan yang menyangkut hak-hak sipil yang meliputi:
1) Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya;
2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat kemanusiaan;
3) Setiap orang berhak untuk bebas dari segala bentuk perbudakan;
4) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya;
5) Setiap orang berhak untuk bebas memiliki keyakinan, pikiran, dan hati nurani;
6) Setiap orang berhak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum;
7) Setiap orang berhak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan;
8) Setiap orang berhak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut;
9) Setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah;
10) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan;
11) Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal di wilayah negaranya, meninggalkan, dan kembali ke negaranya;
12) Setiap orang berhak memperoleh suaka politik;
13) Setiap orang berhak bebas dari segala bentuk perlakuan diskriminatif dan berhak mendapatkan perlindungan hukum dari perlakuan yang bersifat diskriminatif tersebut.



Kedua, kelompok hak-hak politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang meliputi:
1) Setiap warga negara berhak untuk berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapatnya secara damai dengan lisan dan tulisan;
2) Setiap warga negara berhak untuk memilih dan dipilih dalam rangka lembaga perwakilan rakyat;
3) Setiap warga negara dapat diangkat untuk menduduki jabatan-jabatan publik;
4) Setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih pekerjaan yang sah dan layak bagi kemanusiaan;
5) Setiap orang berhak untuk bekerja, mendapat imbalan, dan mendapat perlakuan yang layak dalam hubungan kerja yang berkeadilan;
6) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi;
7) Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak dan memungkinkan pengembangan dirinya sebagai manusia yang bermartabat;
8) Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi;
9) Setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih pendidikan dan pengajaran;
10) Setiap orang berhak mengembangkan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya untuk peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan umat manusia;
11) Negara menjamin penghormatan atas identitas budaya dan hak-hak masyarakat lokal selaras dengan perkembangan zaman dan tingkat peradaban bangsa-bangsa;
12) Negara mengakui setiap budaya sebagai bagian dari kebudayaan nasional;
13) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing, dan untuk beribadat menurut kepercayaannya itu.

Ketiga, kelompok hak-hak khusus dan hak atas pembangunan yang meliputi:
1) Setiap warga negara yang menyandang masalah sosial, termasuk kelompok masyarakat yang terasing dan yang hidup di lingkungan terpencil, berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan yang sama;
2) Hak perempuan dijamin dan dilindungi untuk mendapai kesetaraan gender dalam kehidupan nasional;
3) Hak khusus yang melekat pada diri perempuan uang dikarenakan oleh fungsi reproduksinya dijamin dan dilindungi oleh hukum;
4) Setiap anak berhak atas kasih sayang, perhatian, dan perlindungan orangtua, keluarga, masyarakat dan negara bagi pertumbuhan fisik dan mental serta perkembangan pribadinya;
5) Setiap warga negara berhak untuk berperan-serta dalam pengelolaan dan turut menikmati manfaat yang diperoleh dari pengelolaan kekayaan alam;
6) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat;
7) Kebijakan, perlakuan atau tindakan khusus yang bersifat sementara dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan yang sah yang dimaksudkan untuk menyetarakan tingkat perkembangan kelompok tertentu yang pernah mengalami perlakuan diskriminatif dengan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, dan perlakuan khusus tersebut tidak termasuk dalam pengertian diskriminasi.

Keempat, kelompok yang mengatur mengenai tanggungjawab negara dan kewajiban asasi manusia yang meliputi:
1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan keadilan sesuai dengan nilai-nilai agama, moralitas, dan kesusilaan, keamanan, dan ketertiban umum dalam masyarakat yang demokratis;
3) Negara bertanggungjawab atas perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak-hak asasi manusia;
4) Untuk menjamin pelaksanaan hak asasi manusia, dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang bersifat independen dan tidak memihak yang pembentukan, susunan, dan kedudukannya diatur dengan undang-undang.
Hak-hak tersebut di atas ada yang termasuk kategori hak asasi manusia yang berlaku bagi semua orang yang tinggal dan berada dalam wilayah hukum Republik Indonesia, dan ada pula yang merupakan hak warga negara yang berlaku hanya bagi warga negara Republik Indonesia. Hak-hak dan kebebasan tersebut ada yang tercantum dalam UUD 1945 dan ada pula yang tercantum hanya dalam undang-undang tetapi memiliki kualitas yang sama pentingnya secara konstitusional sehingga dapat disebut memiliki “constitutional importance” yang sama dengan yang disebut eksplisit dalam UUD 1945. Sesuai dengan prinsip “kontrak sosial” (social contract), maka setiap hak yang terkait dengan warga negara dengan sendiri bertimbal-balik dengan kewajiban negara untuk memenuhinya. Demikian pula dengan kewenangan-kewenangan konstitusional yang dimiliki oleh negara melalui organ-organnya juga bertimbal-balik dengan kewajiban-kewajiban konstitusional yang wajib ditaati dan dipenuhi oleh setiap warga negara.

C. Pengakuan Hak Konstitusional yang dijamin UUD 1945
Sejak berdirinya Negara Republik Indonesia, dilihat dari perkembangan berdemokrasi serta kehidupan berkebangsaan dimana dalam konstitusi kita mengakui hak kostitusional setiap warga negara. Tetapi sejauh mana pengakuan Hak konstitusional telah terjamin selama berjalannya pemerintahan di Indonesia sebagai amanat UUD 1945? Untuk menjawabnya akan dibahas beberapa hal pokok saja yang menjadi kesimpulan dari hak konstitusional serta dapat menjadi gambaran selama ini apakah telah dijamin oleh pemerintah atau tidak? oleh karena itu kita lihat hak konstitusional dalam UUD 1945 antara lain :
- Hak untuk hidup. Apakah setiap warga negara telah terjamin rasa aman? Dengan kejadian terorisme yang terjadi di Indonesia membuat rasa tidak aman menghantui sebagian warga Indonesia. banyak negara-negara yang memasang “travel warning” untuk kunjungan ke Indonesia. juga adanya hukuman mati dalam hukum pidana Indonesia bertentangan dengan hak untuk hidup dalam konstitusi RI.
- Hak untuk memperoleh pendidikan. Apakah setiap anak usia wajib belajar telah menikmati pendidikan? Dengan melihat banyak anak-anak usia sekolah yang sehari-hari mengais barang bekas, anak-anak yang mengemis di jalan raya, dan menjadi sasaran trafficking. Pemerintah berkewajiban untuk membuat pendidikan tersedia (available), mudah dicapai (accessible), diterima (acceptable) dan dapat beradaptasi (adaptable) :
- Available (ketersediaan) mewujudkan dua kewajiban pemerintah yang berbeda: hak atas pendidikan sebagai sebuah hak sipil dan politik membuat pemerintah harus membangun sekolah-sekolah, sementara hak atas pendidikan sebagai hak social, ekonomi dan budaya mengharuskan pemerintah harus memastikan bahwa pendidikan yang wajib dan gratis tersedia untuk semua anak-anak usia sekolah.
- Access (akses) didefinisikan secara berbeda untuk tingkatan pendidikan yang berbeda. Pemerintah wajib menjamin akses pada pendidikan untuk semua anak dalam kisaran usia wajib belajar, tapi tidak untuk pendidikan lanjutan dan lebih tinggi. Terlebih lagi, wajib belajar seharusnya tidak dipungut biaya apa pun sedangkan pasca-wajib belajar dapat meminta pembayaran uang sekolah atau biaya lain dengan memperhatikan criteria dari daya jangkau.
- Acceptability (dapat diterima) membutuhkan suatu jaminan kualitas pendidikan, standar minimum kesehatan dan keamanan, atau kriteria-kriteria professional dari para guru yang harus dibuat, dimonitor dan ditegakkan oleh pemerintah. Konsep dapat diterima telah cukup diperluas lewat perkembangan hukum hak asasi manusia internasional: hak masyarakat adat dan minoritas telah memprioritaskan bahasa pengantar; pelarangan hukuman badan telah mentransformasi disiplin di sekolah. Munculnya anak sebagai subyek dari hak atas pendidikan dan hak dalam pendidikan telah lebih jauh memperbesar batasan dari dijaminnya dapat diterimanya pendidikan.
- adaptability (kemampuan beradaptasi) membutuhkan sekolah untuk beradaptasi dengan para anak, mengikuti ukuran kepentingan setiap anak dalam konvensi tentang hak-hak anak.
Dengan melihat hak warga negara untuk memperoleh pendidikan, maka pemerintah mengusahakan dengan memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 % dalam APBN sehingga kiranya dapat menjamin setiap anak usia wajib belajar dapat memperoleh pendidikan.

- Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing, dan untuk beribadat menurut kepercayaannya itu. Apakah kebebasan memeluk agama dan kepercayaan telah diakui ? dilihat dari berbagai aliran kepercayaan yang diakui sebagian masyarakat Indonesia seperti jemaat ahmadyah yang dibekukan Departemen Agama RI tentu bertentangan dengan konstitusi. Dimana hak-hak mereka untuk memeluk agama dan kepercayaannya itu, jika pemerintah tidak mengakui mereka?
- Setiap orang berhak untuk bekerja, mendapat imbalan, dan mendapat perlakuan yang layak dalam hubungan kerja yang berkeadilan; bagaimana dengan nasib para buruh yang menuntut hak-hak mereka ? serta bagaimana nasib pedagang kaki lima yang mencari nafkah namun harus berurusan dengan SATPOL PP? dengan alasan demi kepentingan umum, tetapi kepentingan umum yang mana? Untuk itu pemerintah harus menjamin nasib para buruh serta pedagang kaki lima dengan melindungi hak-hak mereka. Pemerintah dan DPR harus membuat UU tentang kepentingan umum sehingga dengan jelas kita dapat mengetahui apa saja yang termasuk kategori kepentingan umum. Dengan demikian rakyat kecil tidak selalu menjadi korban kepentingan umum.
Dengan demikian dilihat dari hal-hal pokok dari pengakuan hak konstitusional dalam UUD 1945, belum benar-benar diakui dan dilaksanakan di Indonesia namun pemerintahan masih terus berkembang sehingga diharapkan amanat konstitusi akan terus dilindungi dan diakui. Rakyat Indonesia akan terus merasa aman, tentram serta damai dengan timbul keadilan yang hakiki.


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
1. Hak konstitusional merupakan hak warga negara yang dijamin dalam dan oleh UUD 1945 sehingga merupakan amanat yang harus dijalankan oleh pemerintah Republik Indonesia. Oleh karena itu, hak konstitusional warga negara harus di jamin dalam konstitusi sebagai bentuk pengakuan HAM serta adanya peradilan yang independen tidak terpengaruh oleh penguasa dan segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas hukum. Setiap hak asasi manusia (human rights) tidak selamanya merupakan hak konstitusional (constitutional rights) tetapi jika prinsip-prinsip HAM diakui dalam konstitusi suatu negara maka prinsip-prinsip HAM tersebut merupakan hak konstitusional warga negara.
2. Hak konstitusional yang terkandung dalam UUD 1945 sebelum amandemen adalah 7 pasal yang terdiri dari pasal 27 ayat (2), pasal 28, pasal 29 (ayat (2), pasal 30 ayat (1), pasal 31 ayat (1) dan pasal 32. Sedangkan setelah Perubahan Kedua pada tahun 2000, keseluruhan materi ketentuan hak-hak asasi manusia dalam UUD 1945, yang apabila digabung dengan berbagai ketentuan yang terdapat dalam undang-undang yang berkenaan dengan hak asasi manusia, dapat kita kelompokkan dalam empat kelompok yang berisi 37 butir ketentuan.
3. Pengakuan hak konstitusional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara belum sepenuhnya dilaksanakan oleh pemerintah. Masih banyak terjadi diskriminasi dalam setiap tindakan pemerintah untuk menjamin hak konstitusional setiap warga negara.

B. Saran
Dari simpulan yang dikemukakan diatas, maka dapatlah disarankan beberapa hal sebagai berikut :
1. Pendidikan aparatur penegak hukum harus bisa menumbuhkan komitmen aparat penegak hukum terhadap penyelenggaraan peradilan yang bebas serta independen dan tidak terpengaruh dengan kekuasaan.
2. Prinsip HAM sebagai hak konstitusional yang diakui dalam UUD 1945 harus benar-benar dilaksanakan oleh pemerintah Republik Indonesia.
3. Pemerintah berkewajiban untuk membuat pendidikan tersedia (available), mudah dicapai (accessible), diterima (acceptable) dan dapat beradaptasi (adaptable) dengan pendidikan gratis bagi usia wajib belajar.
4. Segera membuat UU tentang kepentingan umum untuk menegaskan hal-hal yang termasuk kategori kepentingan umum agar dalam setiap tindakan pemerintah tidak serta merta mengatasnamakan kepentingan umum sehingga selalu rakyat kecil yang menjadi korban.
5. Presiden dan wakil presiden terpilih segera mengevaluasi seluruh regulasi yang menghambat kebebasan beragama karena negara perlu menjamin kebebasan memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. UUD 1945 pun melindungi hak warga untuk beragama atau meyakini sebuah kepercayaan. Indonesia juga telah meratifikasi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia lewat Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999. Di situ ditegaskan lagi jaminan negara atas kebebasan beragama dan berkeyakinan. Bahkan negara kita sudah mengesahkan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik melalui UU Nomor 12 Tahun 2005, yang juga menjamin hal yang sama.











DAFTAR PUSTAKA

Absbjorn Eide, Catarina Krause dan Allan Rosas, Hak Ekonomi, social dan budaya, Raoul Wallenberg Institute Of Human Rights and Humanitarian Law
Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1995
Andrews, William G. Constitutions and Consti¬tu¬tio¬nalism. 3rd edition. New Jersey: Van Nostrand Company, 1968.
Asshidiqie, jimly, 2008, Konstitusi dan Hak Asasi Manusia, diakses 14 September 2009 (http://click-gtg.blogspot.com/2008/08/konstitusidanhakasasimanusia_04.html
Bachr, Peter, Pieter van Dijk, dan Adnan Buyung Nasution, dkk. (eds.). Instrumen Internasional Pokok Hak-Hak Asasi Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001.
Benedek, Wolfgang and Minna Nikolova (eds.). Understanding Human Rights: Manual on Human Rights Education. Graz, Austia: European Training and Research Center for Human Rights and Democarcy (ETC), 2003.
Dicey, A.V, 1952, Pengantar Studi Hukum Konstitusi, Terjemahan: Nurhadi M.A, Cetakan kedua, Nusamedia, Bandung, 2008.
http://dunia.vivanews.com/news/read/1119_indonesia_menjadi_anggota_pbb_ke_60
http://mdjum.wordpress.com/pengertian_hak-asasi_manusia_di_dalam_konstitusi_indonesia_2/
Jimly Asshiddiqie. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta: Konpress, 2005.
Katarina Tomasevski, Pendidikan yang terabaikan, terjemahan: Janet Dyah Ekawati, Raoul Wallenberg Institute Of Human Rights and Humanitarian Law bekerjasama dengan Departemen Hukum dan HAM Indonesia, 2003
K.C. Wheare, Konstitusi-Konstitusi Modern, Pustaka Eureka, Jakarta, 2003
McIlwain XE "Charles Howard McIlwain" , Charles Howard. Constitutionalism: Ancient and Modern. Ithaca, New York: Cornell University Press, 1966.
Muhammad Yamin. Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia. Djakarta: Djambatan, 1959.
Soehino, IlmuNegara, Liberty, Yogyakarta, 2005

UU No.21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 21 TAHUN 2001
TENTANG
OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa cita-cita dan tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah membangun masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
b. bahwa masyarakat Papua sebagai insan ciptaan Tuhan dan bagian dari umat manusia yang beradab, menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, nilai-nilai agama, demokrasi, hukum, dan nilai-nilai budaya yang hidup dalam masyarakat hukum adat, serta memiliki hak untuk menikmati hasil pembangunan secara wajar;
c. bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dalam undang-undang;
d. bahwa integrasi bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus tetap dipertahankan dengan menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Papua, melalui penetapan daerah Otonomi Khusus;
e. bahwa penduduk asli di Provinsi Papua adalah salah satu rumpun dari ras Melanesia yang merupakan bagian dari suku-suku bangsa di Indonesia, yang memiliki keragaman kebudayaan, sejarah, adat istiadat, dan bahasa sendiri;
f. bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Provinsi Papua selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia di Provinsi Papua, khususnya masyarakat Papua;
g. bahwa pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam Provinsi Papua belum digunakan secara optimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat asli, sehingga telah mengakibatkan terjadinya kesenjangan antara Provinsi Papua dan daerah lain, serta merupakan pengabaian hak-hak dasar penduduk asli Papua;
h. bahwa dalam rangka mengurangi kesenjangan antara Provinsi Papua dan Provinsi lain, dan meningkatkan taraf hidup masyarakat di Provinsi Papua, serta memberikan kesempatan kepada penduduk asli Papua, diperlukan adanya kebijakan khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;
i. bahwa pemberlakuan kebijakan khusus dimaksud didasarkan pada nilai-nilai dasar yang mencakup perlindungan dan penghargaan terhadap etika dan moral, hak-hak dasar penduduk asli, Hak Asasi Manusia, supremasi hukum, demokrasi, pluralisme, serta persamaan kedudukan, hak, dan kewajiban sebagai warga negara;
j. bahwa telah lahir kesadaran baru di kalangan masyarakat Papua untuk memperjuangkan secara damai dan konstitusional pengakuan terhadap hak-hak dasar serta adanya tuntutan penyelesaian masalah yang berkaitan dengan pelanggaran dan perlindungan Hak Asasi Manusia penduduk asli Papua;
k. bahwa perkembangan situasi dan kondisi daerah Irian Jaya, khususnya menyangkut aspirasi masyarakat menghendaki pengembalian nama Irian Jaya menjadi Papua sebagaimana tertuang dalam Keputusan DPRD Provinsi Irian Jaya Nomor 7/DPRD/2000 tanggal 16 Agustus 2000 tentang Pengembalian Nama Irian Jaya Menjadi Papua;
l. bahwa berdasarkan hal-hal tersebut pada huruf a, b, c, d, e, f, g, h, i, j, dan k dipandang perlu memberikan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua yang ditetapkan dengan undang-undang;
Mengingat :
1. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 20 ayat (1) dan ayat (5), Pasal 21 ayat (1), Pasal 26, dan Pasal 28;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;
3. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1999 tentang Garisgaris
Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004;
4. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan;
5. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah;
6. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional;
7. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VIII/MPR/2000 tentang Laporan Tahunan Lembaga-Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2000;
8. Undang-undang Nomor 1/Pnps/1962 tentang Pembentukan Propinsi Irian Barat;
9. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1969 tentang Pembentukan Propinsi Otonom Irian Barat dan Kabupaten-kabupaten Otonom di Propinsi Irian Barat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1969 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2907);
10. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
11. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3848);
12. Undang-undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 156, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3882);
13. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886);
14. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 4012);
15. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 208, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4026);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
DAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
a. Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang diberi Otonomi Khusus dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
b. Otonomi Khusus adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua;
c. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah perangkat Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang terdiri atas Presiden beserta para Menteri;
d. Pemerintah Daerah Provinsi Papua adalah Gubernur beserta perangkat lain sebagai Badan Eksekutif
Provinsi Papua;
e. Gubernur Provinsi Papua, selanjutnya disebut Gubernur, adalah Kepala Daerah dan Kepala
Pemerintahan yang bertanggung jawab penuh menyelenggarakan pemerintahan di Provinsi Papua dan
sebagai wakil Pemerintah di Provinsi Papua;
f. Dewan Perwakilan Rakyat Papua, yang selanjutnya disebut DPRP, adalah Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Provinsi Papua sebagai badan legislatif Daerah Provinsi Papua;
g. Majelis Rakyat Papua, yang selanjutnya disebut MRP, adalah representasi kultural orang asli Papua,
yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan
berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan
pemantapan kerukunan hidup beragama sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini;
h. Lambang Daerah adalah panji kebesaran dan simbol kultural bagi kemegahan jati diri orang Papua
dalam bentuk bendera Daerah dan lagu Daerah yang tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan;
i. Peraturan Daerah Khusus, yang selanjutnya disebut Perdasus, adalah Peraturan Daerah Provinsi Papua
dalam rangka pelaksanaan pasal-pasal tertentu dalam Undang-undang ini;
j. Peraturan Daerah Provinsi, yang selanjutnya disebut Perdasi, adalah Peraturan Daerah Provinsi Papua
dalam rangka pelaksanaan kewenangan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan;
k. Distrik, yang dahulu dikenal dengan Kecamatan, adalah wilayah kerja Kepala Distrik sebagai
perangkat daerah Kabupaten/Kota;
l. Kampung atau yang disebut dengan nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul
dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah
Kabupaten/Kota;
m. Badan Musyawarah Kampung atau yang disebut dengan nama lain adalah sekumpulan orang yang
membentuk satu kesatuan yang terdiri atas berbagai unsur di dalam kampung tersebut serta dipilih dan
diakui oleh warga setempat untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah Kampung;
n. Hak Asasi Manusia, yang selanjutnya disebut HAM, adalah seperangkat hak yang melekat pada
hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah,
dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia;
o. Adat adalah kebiasaan yang diakui, dipatuhi dan dilembagakan, serta dipertahankan oleh masyarakat
adat setempat secara turun-temurun;
p. Masyarakat Adat adalah warga masyarakat asli Papua yang hidup dalam wilayah dan terikat serta
tunduk kepada adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara para anggotanya;
q. Hukum Adat adalah aturan atau norma tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat hukum adat,
mengatur, mengikat dan dipertahankan, serta mempunyai sanksi;
r. Masyarakat Hukum Adat adalah warga masyarakat asli Papua yang sejak kelahirannya hidup dalam
wilayah tertentu dan terikat serta tunduk kepada hukum adat tertentu dengan rasa solidaritas yang
tinggi di antara para anggotanya;
s. Hak Ulayat adalah hak persekutuan yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas suatu
wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya, yang meliputi hak untuk
memanfaatkan tanah, hutan, dan air serta isinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
t. Orang Asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri dari suku-suku
asli di Provinsi Papua dan/atau orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh
masyarakat adat Papua;
u. Penduduk Provinsi Papua, yang selanjutnya disebut Penduduk, adalah semua orang yang menurut
ketentuan yang berlaku terdaftar dan bertempat tinggal di Provinsi Papua.
BAB II
LAMBANG-LAMBANG
Pasal 2
(1) Provinsi Papua sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia menggunakan Sang Merah
Putih sebagai Bendera Negara dan Indonesia Raya sebagai Lagu Kebangsaan.
(2) Provinsi Papua dapat memiliki lambang daerah sebagai panji kebesaran dan simbol kultural bagi
kemegahan jati diri orang Papua dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah yang tidak diposisikan
sebagai simbol kedaulatan.
(3) Ketentuan tentang lambang daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan
Perdasus dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
BAB III
PEMBAGIAN DAERAH
Pasal 3
(1) Provinsi Papua terdiri atas Daerah Kabupaten dan Daerah Kota yang masing-masing sebagai Daerah
Otonom.
(2) Daerah Kabupaten/Kota terdiri atas sejumlah Distrik.
(3) Distrik terdiri atas sejumlah kampung atau yang disebut dengan nama lain.
(4) Pembentukan, pemekaran, penghapusan, dan/atau penggabungan Kabupaten/Kota, ditetapkan dengan
undang-undang atas usul Provinsi Papua.
(5) Pembentukan, pemekaran, penghapusan, dan/atau penggabungan Distrik atau Kampung atau yang
disebut dengan nama lain, ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(6) Di dalam Provinsi Papua dapat ditetapkan kawasan untuk kepentingan khusus yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan atas usul Provinsi.
BAB IV
KEWENANGAN DAERAH
Pasal 4
(1) Kewenangan Provinsi Papua mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali
kewenangan bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, moneter dan fiskal, agama, dan
peradilan serta kewenangan tertentu di bidang lain yang ditetapkan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(2) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus,
Provinsi Papua diberi kewenangan khusus berdasarkan Undang-undang ini.
(3) Pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih lanjut dengan
Perdasus atau Perdasi.
(4) Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota mencakup kewenangan sebagaimana telah diatur
dalam peraturan perundang-undangan.
(5) Selain kewenangan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (4), Daerah Kabupaten dan Daerah Kota
memiliki kewenangan berdasarkan Undang-undang ini yang diatur lebih lanjut dengan Perdasus dan
Perdasi.
(6) Perjanjian internasional yang dibuat oleh Pemerintah yang hanya terkait dengan kepentingan Provinsi
Papua dilaksanakan setelah mendapat pertimbangan Gubernur dan sesuai dengan peraturan perundangundangan.
(7) Provinsi Papua dapat mengadakan kerja sama yang saling menguntungkan dengan lembaga atau badan
di luar negeri yang diatur dengan keputusan bersama sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(8) Gubernur berkoordinasi dengan Pemerintah dalam hal kebijakan tata ruang pertahanan di Provinsi
Papua.
(9) Tata cara pemberian pertimbangan oleh Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dengan
Perdasus.
BAB V
BENTUK DAN SUSUNAN PEMERINTAHAN
Bagian Kesatu
U m u m
Pasal 5
(1) Pemerintahan Daerah Provinsi Papua terdiri atas DPRP sebagai badan legislatif, dan Pemerintah
Provinsi sebagai badan eksekutif.
(2) Dalam rangka penyelenggaraan Otonomi Khusus di Provinsi Papua dibentuk Majelis Rakyat Papua
yang merupakan representasi kultural orang asli Papua yang memiliki kewenangan tertentu dalam
rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua, dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat
dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama.
(3) MRP dan DPRP berkedudukan di ibu kota Provinsi.
(4) Pemerintah Provinsi terdiri atas Gubernur beserta perangkat pemerintah Provinsi lainnya.
(5) Di Kabupaten/Kota dibentuk DPRD Kabupaten dan DPRD Kota sebagai badan legislatif serta
Pemerintah Kabupaten/Kota sebagai badan eksekutif.
(6) Pemerintah Kabupaten/Kota terdiri atas Bupati/Walikota beserta perangkat pemerintah
Kabupaten/Kota lainnya.
(7) Di Kampung dibentuk Badan Musyawarah Kampung dan Pemerintah Kampung atau dapat disebut
dengan nama lain.
Bagian Kedua
Badan Legislatif
Pasal 6
(1) Kekuasaan legislatif Provinsi Papua dilaksanakan oleh DPRP.
(2) DPRP terdiri atas anggota yang dipilih dan diangkat berdasarkan peraturan perundang-undangan.
(3) Pemilihan, penetapan dan pelantikan anggota DPRP dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangundangan.
(4) Jumlah anggota DPRP adalah 1¼ (satu seperempat) kali dari jumlah anggota DPRD Provinsi Papua
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
(5) Kedudukan, susunan, tugas, wewenang, hak dan tanggung jawab, keanggotaan, pimpinan dan alat
kelengkapan DPRP diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(6) Kedudukan keuangan DPRP diatur dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 7
(1) DPRP mempunyai tugas dan wewenang:
a. memilih Gubernur dan Wakil Gubernur;
b. mengusulkan pengangkatan Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih kepada Presiden Republik
Indonesia;
c. mengusulkan pemberhentian Gubernur dan/atau Wakil Gubernur kepada Presiden Republik
Indonesia;
d. menyusun dan menetapkan arah kebijakan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan program
pembangunan daerah serta tolok ukur kinerjanya bersama-sama dengan Gubernur;
e. membahas dan menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah bersama-sama dengan
Gubernur;
f. membahas rancangan Perdasus dan Perdasi bersama-sama dengan Gubernur;
g. menetapkan Perdasus dan Perdasi;
h. bersama Gubernur menyusun dan menetapkan Pola Dasar Pembangunan Provinsi Papua dengan
berpedoman pada Program Pembangunan Nasional dan memperhatikan kekhususan Provinsi
Papua;
i. memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah Daerah Provinsi Papua terhadap
rencana perjanjian internasional yang menyangkut kepentingan daerah;
j. melaksanakan pengawasan terhadap:
1) pelaksanaan Perdasus, Perdasi, Keputusan Gubernur dan kebijakan Pemerintah Daerah
lainnya;
2) pelaksanaan pengurusan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah Provinsi
Papua;
3) pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
4) pelaksanaan kerjasama internasional di Provinsi Papua.
k. memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, menerima keluhan dan pengaduan penduduk Provinsi
Papua; dan
l. memilih para utusan Provinsi Papua sebagai anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia.
(2) Pelaksanaan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata
Tertib DPRP sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 8
(1) DPRP mempunyai hak:
a. meminta pertanggungjawaban Gubernur;
b. meminta keterangan kepada Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota serta pihak-pihak yang
diperlukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
c. mengadakan penyelidikan;
d. mengadakan perubahan atas Rancangan Perdasus dan Perdasi;
e. mengajukan pernyataan pendapat;
f. mengajukan Rancangan Perdasus dan Perdasi;
g. mengadakan penyusunan, pengesahan, perubahan dan perhitungan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah;
h. mengadakan penyusunan, pengesahan, perubahan dan perhitungan Anggaran Belanja DPRP
sebagai bagian dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; dan
i. menetapkan Peraturan Tata Tertib DPRP.
(2) Pelaksanaan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRP sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 9
(1) Setiap anggota DPRP mempunyai hak:
a. mengajukan pertanyaan;
b. menyampaikan usul dan pendapat;
c. imunitas;
d. protokoler; dan
e. keuangan/administrasi.
(2) Pelaksanaan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRP sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 10
(1) DPRP mempunyai kewajiban:
a. mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. mengamalkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta menaati segala peraturan
perundang-undangan;
c. membina demokrasi dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
d. meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah berdasarkan demokrasi ekonomi; dan
e. memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, menerima keluhan dan pengaduan masyarakat, serta
memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya.
(2) Pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRP
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga
Badan Eksekutif
Pasal 11
(1) Pemerintah Provinsi Papua dipimpin oleh seorang Kepala Daerah sebagai Kepala Eksekutif yang
disebut Gubernur.
(2) Gubernur dibantu oleh Wakil Kepala Daerah yang disebut Wakil Gubernur.
(3) Tata cara pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur ditetapkan dengan Perdasus sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 12
Yang dapat dipilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur adalah Warga Negara Republik Indonesia
dengan syarat-syarat:
a. orang asli Papua;
b. beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. berpendidikan sekurang-kurangnya sarjana atau yang setara;
d. berumur sekurang-kurangnya 30 tahun;
e. sehat jasmani dan rohani;
f. setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mengabdi kepada rakyat Provinsi Papua;
g. tidak pernah dihukum penjara karena melakukan tindak pidana, kecuali dipenjara karena alasan-alasan
politik; dan
h. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum
tetap, kecuali dipenjara karena alasan-alasan politik.
Pasal 13
Persyaratan dan tata cara persiapan, pelaksanaan pemilihan, serta pengangkatan dan pelantikan Gubernur
dan Wakil Gubernur diatur lebih lanjut dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 14
Gubernur mempunyai kewajiban:
a. memegang teguh Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
b. mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta memajukan
demokrasi;
c. menghormati kedaulatan rakyat;
d. menegakkan dan melaksanakan seluruh peraturan perundang-undangan;
e. meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat;
f. mencerdaskan kehidupan rakyat Papua;
g. memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat;
h. mengajukan Rancangan Perdasus, dan menetapkannya sebagai Perdasus bersama-sama dengan DPRP
setelah mendapatkan pertimbangan dan persetujuan MRP;
i. mengajukan Rancangan Perdasi dan menetapkannya sebagai Perdasi bersama-sama dengan DPRP; dan
j. menyelenggarakan pemerintahan dan melaksanakan pembangun-an sesuai dengan Pola Dasar
Pembangunan Provinsi Papua secara bersih, jujur, dan bertanggung jawab.
Pasal 15
(1) Tugas dan wewenang Gubernur selaku wakil Pemerintah adalah:
a. melakukan koordinasi, pembinaan, pengawasan dan memfasilitasi kerja sama serta penyelesaian
perselisihan atas penyelenggaraan pemerintahan antara Provinsi dan Kabupaten/Kota dan antara
Kabupaten/Kota;
b. meminta laporan secara berkala atau sewaktu-waktu atas penyelenggaraan pemerintahan daerah
Kabupaten/Kota kepada Bupati/Walikota;
c. melakukan pemantauan dan koordinasi terhadap proses pemilihan, pengusulan pengangkatan, dan
pemberhentian Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota serta penilaian atas laporan
pertanggungjawaban Bupati/Walikota;
d. melakukan pelantikan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota atas nama Presiden;
e. menyosialisasikan kebijakan nasional dan memfasilitasi penegakan peraturan perundangundangan
di Provinsi Papua;
f. melakukan pengawasan atas pelaksanaan administrasi kepegawaian dan pembinaan karier pegawai
di wilayah Provinsi Papua;
g. membina hubungan yang serasi antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah serta antar-Pemerintah
Daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
h. memberikan pertimbangan dalam rangka pembentukan, penghapusan, penggabungan, dan
pemekaran daerah.
(2) Pelaksanaan tugas dan wewenang Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
peraturan perundang-undangan.
Pasal 16
Wakil Gubernur mempunyai tugas:
a. membantu Gubernur dalam melaksanakan kewajibannya;
b. membantu mengoordinasikan kegiatan instansi pemerintahan di Provinsi; dan
c. melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Gubernur.
Pasal 17
(1) Masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur adalah 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali untuk
satu masa jabatan berikutnya.
(2) Dalam hal Gubernur berhalangan tetap, jabatan Gubernur dijabat oleh Wakil Gubernur sampai habis
masa jabatannya.
(3) Dalam hal Wakil Gubernur berhalangan tetap, jabatan Wakil Gubernur tidak diisi sampai habis masa
jabatannya.
(4) Apabila Gubernur dan Wakil Gubernur berhalangan tetap, maka DPRP menunjuk seorang pejabat
pemerintah Provinsi yang memenuhi syarat untuk melaksanakan tugas-tugas Gubernur sampai terpilih
Gubernur yang baru.
(5) Selama penunjukan tersebut pada ayat (4) belum dilakukan, Sekretaris Daerah menjalankan tugas
Gubernur untuk sementara waktu.
(6) Dalam hal Gubernur dan Wakil Gubernur berhalangan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
DPRP menyelenggarakan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur selambat-lambatnya dalam waktu
3 (tiga) bulan.
Pasal 18
(1) Dalam menjalankan kewajiban selaku Kepala Daerah dan Kepala Pemerintahan Provinsi, Gubernur
bertanggung jawab kepada DPRP.
(2) Tata cara pelaksanaan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
Peraturan Tata Tertib DPRP sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Sebagai wakil Pemerintah, Gubernur bertanggung jawab kepada Presiden.
(4) Tata cara pertanggungjawaban Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan
Keputusan Presiden.
(5) Gubernur mengoordinasikan dan mengawasi pelaksanaan kewenangan Pemerintah di Provinsi Papua
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).
(6) Gubernur, bersama-sama dengan aparat Pemerintah yang ditempatkan di daerah atau aparat Provinsi,
melaksanakan kewenangan yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2).
(7) Tata cara pelaksanaan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Majelis Rakyat Papua
Pasal 19
(1) MRP beranggotakan orang-orang asli Papua yang terdiri atas wakil-wakil adat, wakil-wakil agama,
dan wakil-wakil perempuan yang jumlahnya masing-masing sepertiga dari total anggota MRP.
(2) Masa keanggotaan MRP adalah 5 (lima) tahun.
(3) Keanggotaan dan jumlah anggota MRP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
Perdasus.
(4) Kedudukan keuangan MRP ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 20
(1) MRP mempunyai tugas dan wewenang:
a. memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur
yang diusulkan oleh DPRP;
b. memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap calon anggota Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia utusan daerah Provinsi Papua yang diusulkan oleh DPRP;
c. memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap Rancangan Perdasus yang diajukan oleh
DPRP bersama-sama dengan Gubernur;
d. memberikan saran, pertimbangan dan persetujuan terhadap rencana perjanjian kerjasama yang
dibuat oleh Pemerintah maupun Pemerintah Provinsi dengan pihak ketiga yang berlaku di Provinsi
Papua khusus yang menyangkut perlindungan hak-hak orang asli Papua;
e. memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, pengaduan masyarakat adat, umat beragama, kaum
perempuan dan masyarakat pada umumnya yang menyangkut hak-hak orang asli Papua, serta
memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya; dan
f. memberikan pertimbangan kepada DPRP, Gubernur, DPRD Kabupaten/Kota serta
Bupati/Walikota mengenai hal-hal yang terkait dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua.
(2) Pelaksanaan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perdasus.
Pasal 21
(1) MRP mempunyai hak:
a. meminta keterangan kepada Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota mengenai hal-hal yang terkait
dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua;
b. meminta peninjauan kembali Perdasi atau Keputusan Gubernur yang dinilai bertentangan dengan
perlindungan hak-hak orang asli Papua;
c. mengajukan rencana Anggaran Belanja MRP kepada DPRP sebagai satu kesatuan dengan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Papua; dan
d. menetapkan Peraturan Tata Tertib MRP.
(2) Pelaksanaan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perdasus dengan berpedoman
pada Peraturan Pemerintah.
Pasal 22
(1) Setiap anggota MRP mempunyai hak:
a. mengajukan pertanyaan;
b. menyampaikan usul dan pendapat;
c. imunitas;
d. protokoler; dan
e. keuangan/administrasi.
(2) Pelaksanaan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib MRP,
dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah.
Pasal 23
(1) MRP mempunyai kewajiban:
a. mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mengabdi
kepada rakyat Provinsi Papua;
b. mengamalkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta menaati segala peraturan
perundang-undangan;
c. membina pelestarian penyelenggaraan kehidupan adat dan budaya asli Papua;
d. membina kerukunan kehidupan beragama; dan
e. mendorong pemberdayaan perempuan.
(2) Tata cara pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perdasus dengan
berpedoman pada Peraturan Pemerintah.
Pasal 24
(1) Pemilihan anggota MRP dilakukan oleh anggota masyarakat adat, masyarakat agama, dan masyarakat
perempuan.
(2) Tata cara pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Perdasi berdasarkan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 25
(1) Hasil pemilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 diajukan oleh Gubernur kepada Menteri Dalam
Negeri untuk memperoleh pengesahan.
(2) Pelantikan anggota MRP dilaksanakan oleh Menteri Dalam Negeri.
(3) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
BAB VI
PERANGKAT DAN KEPEGAWAIAN
Pasal 26
(1) Perangkat Provinsi Papua terdiri atas Sekretariat Provinsi, Dinas Provinsi, dan lembaga teknis lainnya,
yang dibentuk sesuai dengan kebutuhan Provinsi.
(2) Perangkat MRP dan DPRP dibentuk sesuai dengan kebutuhan.
(3) Pengaturan tentang ketentuan pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Perdasi berdasarkan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 27
(1) Pemerintah Provinsi menetapkan kebijakan kepegawaian Provinsi dengan berpedoman pada norma,
standar dan prosedur penyelenggaraan manajemen Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(2) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, Pemerintah Provinsi dan
Pemerintah Kabupaten/Kota dapat menetapkan kebijakan kepegawaian sesuai dengan kebutuhan dan
kepentingan daerah setempat.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Perdasi.
BAB VII
PARTAI POLITIK
Pasal 28
(1) Penduduk Provinsi Papua dapat membentuk partai politik.
(2) Tata cara pembentukan partai politik dan keikutsertaan dalam pemilihan umum sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
(3) Rekrutmen politik oleh partai politik di Provinsi Papua dilakukan dengan memprioritaskan masyarakat
asli Papua.
(4) Partai politik wajib meminta pertimbangan kepada MRP dalam hal seleksi dan rekrutmen politik
partainya masing-masing.
BAB VIII
PERATURAN DAERAH KHUSUS,PERATURAN DAERAH PROVINSI, DAN
KEPUTUSAN GUBERNUR
Pasal 29
(1) Perdasus dibuat dan ditetapkan oleh DPRP bersama-sama Gubernur dengan pertimbangan dan
persetujuan MRP.
(2) Perdasi dibuat dan ditetapkan oleh DPRP bersama-sama Gubernur.
(3) Tata cara pemberian pertimbangan dan persetujuan MRP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Perdasi.
(4) Tata cara pembuatan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 30
(1) Pelaksanaan Perdasus dan Perdasi ditetapkan dengan Keputusan Gubernur.
(2) Keputusan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh bertentangan dengan
kepentingan umum, Perdasus, dan Perdasi.
Pasal 31
(1) Perdasus, Perdasi dan Keputusan Gubernur yang bersifat mengatur, diundangkan dengan
menempatkannya dalam Lembaran Daerah Provinsi.
(2) Perdasus, Perdasi dan Keputusan Gubernur mempunyai kekuatan hukum dan mengikat setelah
diundangkan dalam Lembaran Daerah Provinsi.
(3) Perdasus, Perdasi dan Keputusan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib disosialisasikan
oleh Pemerintah Provinsi.
Pasal 32
(1) Dalam rangka meningkatkan efektivitas pembentukan dan pelaksanaan hukum di Provinsi Papua,
dapat dibentuk Komisi Hukum Ad Hoc.
(2) Komisi Hukum Ad Hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang fungsi, tugas, wewenang, bentuk
dan susunan keanggotaannya diatur dengan Perdasi.
BAB IX
KEUANGAN
Pasal 33
(1) Penyelenggaraan tugas Pemerintah Provinsi, DPRP dan MRP dibiayai atas beban Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah.
(2) Penyelenggaraan tugas Pemerintah di Provinsi Papua dibiayai atas beban Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara.
Pasal 34
(1) Sumber-sumber penerimaan Provinsi, Kabupaten/Kota meliputi:
a. pendapatan asli Provinsi, Kabupaten/Kota;
b. dana perimbangan;
c. penerimaan Provinsi dalam rangka Otonomi Khusus;
d. pinjaman Daerah; dan
e. lain-lain penerimaan yang sah.
(2) Sumber pendapatan asli Provinsi Papua, Kabupaten/Kota, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
terdiri atas:
a. pajak Daerah;
b. retribusi Daerah;
c. hasil perusahaan milik Daerah dan hasil pengelolaan kekayaan Daerah lainnya yang dipisahkan;
dan
d. lain-lain pendapatan Daerah yang sah.
(3) Dana Perimbangan bagian Provinsi Papua, Kabupaten/Kota dalam rangka Otonomi Khusus dengan
perincian sebagai berikut:
a. Bagi hasil pajak:
1) Pajak Bumi dan Bangunan sebesar 90% (sembilan puluh persen);
2) Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebesar 80% (delapan puluh persen); dan
3) Pajak Penghasilan Orang Pribadi sebesar 20% (dua puluh persen).
b. Bagi hasil sumber daya alam:
1) Kehutanan sebesar 80% (delapan puluh persen);
2) Perikanan sebesar 80% (delapan puluh persen);
3) Pertambangan umum sebesar 80% (delapan puluh persen);
4) Pertambangan minyak bumi sebesar 70% (tujuh puluh persen); dan
5) Pertambangan gas alam sebesar 70% (tujuh puluh persen).
c. Dana Alokasi Umum yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
d. Dana Alokasi Khusus yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dengan
memberikan prioritas kepada Provinsi Papua;
e. Penerimaan khusus dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus yang besarnya setara dengan 2%
(dua persen) dari plafon Dana Alokasi Umum Nasional, yang terutama ditujukan untuk
pembiayaan pendidikan dan kesehatan; dan
f. Dana tambahan dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus yang besarnya ditetapkan antara
Pemerintah dengan DPR berdasarkan usulan Provinsi pada setiap tahun anggaran, yang terutama
ditujukan untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur.
(4) Penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b angka 4) dan
angka 5) berlaku selama 25 (dua puluh lima) tahun;
(5) Mulai tahun ke-26 (dua puluh enam), penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) menjadi 50% (lima puluh persen) untuk pertambangan minyak bumi dan
sebesar 50% (lima puluh persen) untuk pertambangan gas alam;
(6) Penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e berlaku
selama 20 (dua puluh) tahun.
(7) Pembagian lebih lanjut penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b angka 4) dan angka
5), dan huruf e antara Provinsi Papua, Kabupaten, Kota atau nama lain diatur secara adil dan
berimbang dengan Perdasus, dengan memberikan perhatian khusus pada daerah-daerah yang
tertinggal.
Pasal 35
(1) Provinsi Papua dapat menerima bantuan luar negeri setelah memberitahukannya kepada Pemerintah.
(2) Provinsi Papua dapat melakukan pinjaman dari sumber dalam negeri dan/atau luar negeri untuk
membiayai sebagian anggarannya.
(3) Pinjaman dari sumber dalam negeri untuk Provinsi Papua harus mendapat persetujuan dari DPRP.
(4) Pinjaman dari sumber luar negeri untuk Provinsi Papua harus mendapat pertimbangan dan persetujuan
DPRP dan Pemerintah dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
(5) Total kumulatif pinjaman yang dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) besarnya tidak melebihi persentase
tertentu dari jumlah penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(6) Ketentuan mengenai pelaksanaan bantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini diatur dengan
Perdasi.
Pasal 36
(1) Perubahan dan perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Provinsi Papua ditetapkan dengan
Perdasi.
(2) Sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) penerimaan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 34
ayat (3) huruf b angka 4) dan angka 5) dialokasikan untuk biaya pendidikan, dan sekurang-kurangnya
15% (lima belas persen) untuk kesehatan dan perbaikan gizi.
(3) Tata cara penyusunan dan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Provinsi, perubahan dan
perhitungannya serta pertanggungjawaban dan pengawasannya diatur dengan Perdasi.
Pasal 37
Data dan informasi mengenai penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari
Provinsi Papua disampaikan kepada Pemerintah Provinsi dan DPRP setiap tahun anggaran.
BAB X
PEREKONOMIAN
Pasal 38
(1) Perekonomian Provinsi Papua yang merupakan bagian dari perekonomian nasional dan global,
diarahkan dan diupayakan untuk menciptakan sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan
seluruh rakyat Papua, dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan dan pemerataan.
(2) Usaha-usaha perekonomian di Provinsi Papua yang memanfaatkan sumber daya alam dilakukan
dengan tetap menghormati hak-hak masyarakat adat, memberikan jaminan kepastian hukum bagi
pengusaha, serta prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, dan pembangunan yang berkelanjutan yang
pengaturannya ditetapkan dengan Perdasus.
Pasal 39
Pengolahan lanjutan dalam rangka pemanfaatan sumber daya alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38
dilaksanakan di Provinsi Papua dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip ekonomi yang sehat, efisien,
dan kompetitif.
Pasal 40
(1) Perizinan dan perjanjian kerja sama yang telah dilakukan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah
Provinsi dengan pihak lain tetap berlaku dan dihormati.
(2) Perizinan dan perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang oleh putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap dinyatakan cacat hukum, merugikan hak hidup masyarakat atau
bertentangan dengan ketentuan Undang-undang ini, wajib ditinjau kembali, dengan tidak mengurangi
kewajiban hukum yang dibebankan pada pemegang izin atau perjanjian yang bersangkutan.
Pasal 41
(1) Pemerintah Provinsi Papua dapat melakukan penyertaan modal pada Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) dan perusahaan-perusahaan swasta yang berdomisili dan beroperasi di wilayah Provinsi
Papua.
(2) Tata cara penyertaan modal pemerintah Provinsi Papua sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Perdasi.
Pasal 42
(1) Pembangunan perekonomian berbasis kerakyatan dilaksanakan dengan memberikan kesempatan yang
seluas-luasnya kepada masyarakat adat dan/atau masyarakat setempat.
(2) Penanam modal yang melakukan investasi di wilayah Provinsi Papua harus mengakui dan
menghormati hak-hak masyarakat adat setempat.
(3) Perundingan yang dilakukan antara Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota, dan penanam modal harus
melibatkan masyarakat adat setempat.
(4) Pemberian kesempatan berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam kerangka
pemberdayaan masyarakat adat agar dapat berperan dalam perekonomian seluas-luasnya.
BAB XI
PERLINDUNGAN HAK-HAK MASYARAKAT ADAT
Pasal 43
(1) Pemerintah Provinsi Papua wajib mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan dan
mengembangkan hak-hak masyarakat adat dengan berpedoman pada ketentuan peraturan hukum yang
berlaku.
(2) Hak-hak masyarakat adat tersebut pada ayat (1) meliputi hak ulayat masyarakat hukum adat dan hak
perorangan para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
(3) Pelaksanaan hak ulayat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, dilakukan oleh penguasa adat
masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adat setempat, dengan
menghormati penguasaan tanah bekas hak ulayat yang diperoleh pihak lain secara sah menurut tatacara
dan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
(4) Penyediaan tanah ulayat dan tanah perorangan warga masyarakat hukum adat untuk keperluan apapun,
dilakukan melalui musyawarah dengan masyarakat hukum adat dan warga yang bersangkutan untuk
memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah yang diperlukan maupun imbalannya.
(5) Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota memberikan mediasi aktif dalam usaha penyelesaian sengketa
tanah ulayat dan bekas hak perorangan secara adil dan bijaksana, sehingga dapat dicapai kesepakatan
yang memuaskan para pihak yang bersangkutan.
Pasal 44
Pemerintah Provinsi berkewajiban melindungi hak kekayaan intelektual orang asli Papua sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
BAB XII
HAK ASASI MANUSIA
Pasal 45
(1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan penduduk Provinsi Papua wajib menegakkan, memajukan,
melindungi, dan menghormati Hak Asasi Manusia di Provinsi Papua.
(2) Untuk melaksanakan hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah membentuk perwakilan
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi di Provinsi Papua sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 46
(1) Dalam rangka pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa di Provinsi Papua dibentuk Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi.
(2) Tugas Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah :
a. melakukan klarifikasi sejarah Papua untuk pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
b. merumuskan dan menetapkan langkah-langkah rekonsiliasi.
(3) Susunan keanggotaan, kedudukan, pengaturan pelaksanaan tugas dan pembiayaan Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Keputusan Presiden setelah
mendapatkan usulan dari Gubernur.
Pasal 47
Untuk menegakkan Hak Asasi Manusia kaum perempuan, Pemerintah Provinsi berkewajiban membina,
melindungi hak-hak dan memberdayakan perempuan secara bermartabat dan melakukan semua upaya
untuk memposisikannya sebagai mitra sejajar kaum laki-laki.
BAB XIII
KEPOLISIAN DAERAH PROVINSI PAPUA
Pasal 48
(1) Tugas Kepolisian di Provinsi Papua dilaksanakan oleh Kepolisian Daerah Provinsi Papua sebagai
bagian dari Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(2) Kebijakan mengenai keamanan di Provinsi Papua dikoordinasikan oleh Kepala Kepolisian Daerah
Provinsi Papua kepada Gubernur.
(3) Hal-hal mengenai tugas kepolisian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bidang ketertiban dan
ketenteraman masyarakat, termasuk pembiayaan yang diakibatkannya, diatur lebih lanjut dengan
Perdasi.
(4) Pelaksanaan tugas kepolisian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dipertanggungjawabkan Kepala
Kepolisian Daerah Provinsi Papua kepada Gubernur.
(5) Pengangkatan Kepala Kepolisian Daerah Provinsi Papua dilakukan oleh Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia dengan persetujuan Gubernur Provinsi Papua.
(6) Pemberhentian Kepala Kepolisian Daerah Provinsi Papua dilakukan oleh Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
(7) Kepala Kepolisian Daerah Provinsi Papua bertanggung jawab kepada Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia atas pembinaan kepolisian di Provinsi Papua dalam pelaksanaan tugas Kepolisian
Negara Republik Indonesia.
Pasal 49
(1) Seleksi untuk menjadi perwira, bintara, dan tamtama Kepolisian Negara Republik Indonesia di
Provinsi Papua dilaksanakan oleh Kepolisian Daerah Provinsi Papua dengan memperhatikan sistem
hukum, budaya, adat istiadat, dan kebijakan Gubernur Provinsi Papua.
(2) Pendidikan dasar dan pelatihan umum bagi bintara dan tamtama Kepolisian Negara Republik
Indonesia di Provinsi Papua diberi kurikulum muatan lokal, dan lulusannya diutamakan untuk
penugasan di Provinsi Papua.
(3) Pendidikan dan pembinaan perwira Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berasal dari Provinsi
Papua dilaksanakan secara nasional oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(4) Penempatan perwira, bintara dan tamtama Kepolisian Negara Republik Indonesia dari luar Provinsi
Papua dilaksanakan atas Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan
memperhatikan sistem hukum, budaya dan adat istiadat di daerah penugasan.
(5) Dalam hal penempatan baru atau relokasi satuan kepolisian di Provinsi Papua, Pemerintah
berkoordinasi dengan Gubernur.
BAB XIV
KEKUASAAN PERADILAN
Pasal 50
(1) Kekuasaan kehakiman di Provinsi Papua dilaksanakan oleh Badan Peradilan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(2) Di samping kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui adanya peradilan adat
di dalam masyarakat hukum adat tertentu.
Pasal 51
(1) Peradilan adat adalah peradilan perdamaian di lingkungan masyarakat hukum adat, yang mempunyai
kewenangan memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana di antara para warga
masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
(2) Pengadilan adat disusun menurut ketentuan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
(3) Pengadilan adat memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berdasarkan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
(4) Dalam hal salah satu pihak yang bersengketa atau yang berperkara berkeberatan atas putusan yang
telah diambil oleh pengadilan adat yang memeriksanya sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pihak
yang berkeberatan tersebut berhak meminta kepada pengadilan tingkat pertama di lingkungan badan
peradilan yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili ulang sengketa atau perkara yang
bersangkutan.
(5) Pengadilan adat tidak berwenang menjatuhkan hukuman pidana penjara atau kurungan.
(6) Putusan pengadilan adat mengenai delik pidana yang perkaranya tidak dimintakan pemeriksaan ulang
sebagaimana yang dimaksud pada ayat (4), menjadi putusan akhir dan berkekuatan hukum tetap.
(7) Untuk membebaskan pelaku pidana dari tuntutan pidana menurut ketentuan hukum pidana yang
berlaku, diperlukan pernyataan persetujuan untuk dilaksanakan dari Ketua Pengadilan Negeri yang
mewilayahinya yang diperoleh melalui Kepala Kejaksaan Negeri yang bersangkutan dengan tempat
terjadinya peristiwa pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(8) Dalam hal permintaan pernyataan persetujuan untuk dilaksanakan bagi putusan pengadilan adat
sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditolak oleh Pengadilan Negeri, maka putusan pengadilan adat
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) menjadi bahan pertimbangan hukum Pengadilan Negeri dalam
memutuskan perkara yang bersangkutan.
Pasal 52
(1) Tugas Kejaksaan dilakukan oleh Kejaksaan Provinsi Papua sebagai bagian dari Kejaksaan Republik
Indonesia.
(2) Pengangkatan Kepala Kejaksaan Tinggi di Provinsi Papua dilakukan oleh Jaksa Agung Republik
Indonesia dengan persetujuan Gubernur.
(3) Pemberhentian Kepala Kejaksaan Tinggi di Provinsi Papua dilakukan oleh Jaksa Agung Republik
Indonesia.
BAB XV
KEAGAMAAN
Pasal 53
(1) Setiap penduduk Provinsi Papua memiliki hak dan kebebasan untuk memeluk agama dan
kepercayaannya masing-masing.
(2) Setiap penduduk Provinsi Papua berkewajiban menghormati nilai-nilai agama, memelihara kerukunan
antar umat beragama, serta mencegah upaya memecah belah persatuan dan kesatuan dalam masyarakat
di Provinsi Papua dan di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 54
Pemerintah Provinsi Papua berkewajiban:
a. menjamin kebebasan, membina kerukunan, dan melindungi semua umat beragama untuk menjalankan
ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya;
b. menghormati nilai-nilai agama yang dianut oleh umat beragama;
c. mengakui otonomi lembaga keagamaan; dan
d. memberikan dukungan kepada setiap lembaga keagamaan secara proporsional berdasarkan jumlah
umat dan tidak bersifat mengikat.
Pasal 55
(1) Alokasi keuangan dan sumber daya lain oleh Pemerintah dalam rangka pembangunan keagamaan di
Provinsi Papua dilakukan secara proporsional berdasarkan jumlah umat dan tidak bersifat mengikat.
(2) Pemerintah mendelegasikan sebagian kewenangan perizinan penempatan tenaga asing bidang
keagamaan di Provinsi Papua kepada Gubernur Provinsi Papua.
BAB XVI
PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
Pasal 56
(1) Pemerintah Provinsi bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan pada semua jenjang,
jalur, dan jenis pendidikan di Provinsi Papua.
(2) Pemerintah menetapkan kebijakan umum tentang otonomi perguruan tinggi, kurikulum inti, dan
standar mutu pada semua jenjang, jalur, dan jenis pendidikan sebagai pedoman pelaksanaan bagi
pimpinan perguruan tinggi dan Pemerintah Provinsi.
(3) Setiap penduduk Provinsi Papua berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sampai dengan tingkat sekolah menengah dengan beban masyarakat serendah-rendahnya.
(4) Dalam mengembangkan dan menyelenggarakan pendidikan, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah
Kabupaten/Kota memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada lembaga keagamaan, lembaga
swadaya masyarakat, dan dunia usaha yang memenuhi syarat sesuai dengan peraturan perundangundangan
untuk mengembangkan dan menyelenggarakan pendidikan yang bermutu di Provinsi Papua.
(5) Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota dapat memberikan bantuan dan/atau subsidi kepada
penyelenggara pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat yang memerlukan.
(6) Pelaksanan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) ditetapkan dengan
Perdasi.
Pasal 57
(1) Pemerintah Provinsi wajib melindungi, membina, dan mengembangkan kebudayaan asli Papua.
(2) Dalam melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Provinsi
memberikan peran sebesar-besarnya kepada masyarakat termasuk lembaga swadaya masyarakat yang
memenuhi persyaratan.
(3) Pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai dengan pembiayaan.
(4) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan dengan Perdasi.
Pasal 58
(1) Pemerintah Provinsi berkewajiban membina, mengembangkan, dan melestarikan keragaman bahasa
dan sastra daerah guna mempertahankan dan memantapkan jati diri orang Papua.
(2) Selain bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa kedua di
semua jenjang pendidikan.
(3) Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar di jenjang pendidikan dasar sesuai
kebutuhan.
BAB XVII
KESEHATAN
Pasal 59
(1) Pemerintah Provinsi berkewajiban menetapkan standar mutu dan memberikan pelayanan kesehatan
bagi penduduk.
(2) Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/ Kota berkewajiban mencegah dan
menanggulangi penyakit-penyakit endemis dan/atau penyakit-penyakit yang membahayakan
kelangsungan hidup penduduk.
(3) Setiap penduduk Papua berhak memperoleh pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dengan beban masyarakat serendah-rendahnya.
(4) Dalam melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Pemerintah
Provinsi memberikan peranan sebesar-besarnya kepada lembaga keagamaan, lembaga swadaya
masyarakat, dan dunia usaha yang memenuhi persyaratan.
(5) Ketentuan mengenai kewajiban menyelenggarakan pelayanan kesehatan dengan beban masyarakat
serendah-rendahnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dan keikutsertaan lembaga keagamaan,
lembaga swadaya masyarakat, serta dunia usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur lebih
lanjut dengan Perdasi.
Pasal 60
(1) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban merencanakan dan melaksanakan
program-program perbaikan dan peningkatan gizi penduduk, dan pelaksanaannya dapat melibatkan
lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, dan dunia usaha yang memenuhi persyaratan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Perdasi.
BAB XVIII
KEPENDUDUKAN DAN KETENAGAKERJAAN
Pasal 61
(1) Pemerintah Provinsi berkewajiban melakukan pembinaan, pengawasan, dan pengendalian terhadap
pertumbuhan penduduk di Provinsi Papua.
(2) Untuk mempercepat terwujudnya pemberdayaan, peningkatan kualitas dan partisipasi penduduk asli
Papua dalam semua sektor pembangunan Pemerintah Provinsi memberlakukan kebijakan
kependudukan.
(3) Penempatan penduduk di Provinsi Papua dalam rangka transmigrasi nasional yang diselenggarakan
oleh Pemerintah dilakukan dengan persetujuan Gubernur.
(4) Penempatan penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Perdasi.
Pasal 62
(1) Setiap orang berhak atas pekerjaan dan penghasilan yang layak serta bebas memilih dan/atau pindah
pekerjaan sesuai dengan bakat dan kemampuannya.
(2) Orang asli Papua berhak memperoleh kesempatan dan diutamakan untuk mendapatkan pekerjaan
dalam semua bidang pekerjaan di wilayah Provinsi Papua berdasarkan pendidikan dan keahliannya.
(3) Dalam hal mendapatkan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di bidang peradilan, orang asli
Papua berhak memperoleh keutamaan untuk diangkat menjadi Hakim atau Jaksa di Provinsi Papua.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Perdasi.
BAB XIX
PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
DAN LINGKUNGAN HIDUP
Pasal 63
Pembangunan di Provinsi Papua dilakukan dengan berpedoman pada prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan, pelestarian lingkungan, manfaat, dan keadilan dengan memperhatikan rencana tata ruang
wilayah.
Pasal 64
(1) Pemerintah Provinsi Papua berkewajiban melakukan pengelolaan lingkungan hidup secara terpadu
dengan memperhatikan penataan ruang, melindungi sumber daya alam hayati, sumber daya alam
nonhayati, sumber daya buatan, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya,
dan keanekaragaman hayati serta perubahan iklim dengan memperhatikan hak-hak masyarakat adat
dan untuk sebesar-besarnya bagi kesejahteraan penduduk.
(2) Untuk melindungi keanekaragaman hayati dan proses ekologi terpenting, Pemerintah Provinsi
berkewajiban mengelola kawasan lindung.
(3) Pemerintah Provinsi wajib mengikutsertakan lembaga swadaya masyarakat yang memenuhi syarat
dalam pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup.
(4) Di Provinsi Papua dapat dibentuk lembaga independen untuk penyelesaian sengketa lingkungan.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut
dengan Perdasi.
BAB XX
SOSIAL
Pasal 65
(1) Pemerintah Provinsi sesuai dengan kewenangannya berkewajiban memelihara dan memberikan
jaminan hidup yang layak kepada penduduk Provinsi Papua yang menyandang masalah sosial.
(2) Dalam melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Provinsi
memberikan peranan sebesar-besarnya kepada masyarakat termasuk lembaga swadaya masyarakat.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Perdasi;
Pasal 66
(1) Pemerintah Provinsi memberikan perhatian dan penanganan khusus bagi pengembangan suku-suku
yang terisolasi, terpencil, dan terabaikan di Provinsi Papua.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Perdasus.
BAB XXI
PENGAWASAN
Pasal 67
(1) Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan yang baik, bersih, berwibawa, transparan, dan
bertanggungjawab, dilakukan pengawasan hukum, pengawasan politik, dan pengawasan sosial.
(2) Pelaksanaan pengawasan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan
Perdasus.
Pasal 68
(1) Dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Pemerintah berkewajiban memfasilitasi melalui
pemberian pedoman, pelatihan, dan supervisi.
(2) Pemerintah berwenang melakukan pengawasan represif terhadap Perdasus, Perdasi, dan Keputusan
Gubernur.
(3) Pemerintah berwenang melakukan pengawasan fungsional terhadap penyelenggaraan pemerintahan
daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(4) Pemerintah dapat melimpahkan wewenang kepada Gubernur selaku Wakil Pemerintah untuk
melakukan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan Kabupaten/Kota.
BAB XXII
KERJA SAMA DAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN
Pasal 69
(1) Provinsi Papua dapat mengadakan perjanjian kerja sama dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya
dengan Provinsi lain di Indonesia sesuai dengan kebutuhan.
(2) Perselisihan diantara para pihak yang mengadakan perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
diselesaikan sesuai dengan pilihan hukum yang diperjanjikan.
Pasal 70
(1) Perselisihan antara Kabupaten/Kota di dalam Provinsi Papua, diselesaikan secara musyawarah yang
difasilitasi Pemerintah Provinsi.
(2) Perselisihan antara Kabupaten/Kota dengan Provinsi, diselesaikan secara musyawarah yang difasilitasi
Pemerintah.
BAB XXIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 71
(1) Gubernur, Wakil Gubernur, DPRD Provinsi, Bupati, Wakil Bupati, DPRD Kabupaten, Walikota,
Wakil Walikota, dan DPRD Kota di Wilayah Provinsi Papua yang telah diangkat sebelum Undangundang
ini disahkan, tetap menjalankan tugas sampai berakhir masa jabatannya.
(2) Semua kewenangan Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota berdasarkan peraturan perundangundangan
tetap berlaku hingga ditetapkan lebih lanjut dengan Perdasus dan Perdasi sesuai dengan
ketentuan Undang-undang ini.
Pasal 72
(1) Gubernur dan DPRP untuk pertama kalinya menyusun syarat dan jumlah anggota serta tata cara
pemilihan anggota MRP untuk diusulkan kepada Pemerintah sebagai bahan penyusunan Peraturan
Pemerintah.
(2) Pemerintah menyelesaikan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selambatlambatnya
1 (satu) bulan setelah usulan diterima.
Pasal 73
Dalam rangka melaksanakan kewenangan sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini, Pemerintah
Provinsi Papua berhak menerima dan mengelola sumber daya meliputi pembiayaan, personil, peralatan,
termasuk dokumennya (P3D) sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 74
Semua peraturan perundang-undangan yang ada dinyatakan tetap berlaku di Provinsi Papua sepanjang tidak
diatur dalam Undang-undang ini.
Pasal 75
Peraturan pelaksanaan yang dimaksud Undang-undang Otonomi Khusus ini ditetapkan paling lambat 2
(dua) tahun sejak diundangkan.
BAB XXIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 76
Pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah
memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumberdaya manusia dan
kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa datang.
Pasal 77
Usul perubahan atas Undang-undang ini dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan
DPRP kepada DPR atau Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 78
Pelaksanaan Undang-undang ini dievaluasi setiap tahun dan untuk pertama kalinya dilakukan pada akhir
tahun ketiga sesudah Undang-undang ini berlaku.
Pasal 79
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 21 November 2001
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 21 November 2001
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 135
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Peraturan
Perundang - undangan II
Edy Sudibyo
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 21 TAHUN 2001
TENTANG
OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA
I. UMUM
Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang diberi Otonomi Khusus, bagian dari wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang memiliki keragaman suku dan lebih dari 250 (dua ratus lima
puluh) bahasa daerah serta dihuni juga oleh suku-suku lain di Indonesia. Wilayah Provinsi Papua pada
saat ini terdiri atas 12 (dua belas) Kabupaten dan 2 (dua) Kota, yaitu: Kabupaten Jayapura, Kabupaten
Merauke, Kabupaten Biak Numfor, Kabupaten Mimika, Kabupaten Jayawijaya, Kabupaten Puncak
Jaya, Kabupaten Paniai, Kabupaten Nabire, Kabupaten Sorong, Kabupaten Fakfak, Kabupaten Yapen
Waropen, Kabupaten Manokwari, Kota Jayapura, dan Kota Sorong. Provinsi Papua memiliki luas
kurang lebih 421.981 km2 dengan topografi yang bervariasi, mulai dari dataran rendah yang berawa
sampai dengan pegunungan yang puncaknya diselimuti salju. Wilayah Provinsi Papua berbatasan di
sebelah utara dengan Samudera Pasifik, di sebelah selatan dengan Provinsi Maluku dan Laut Arafura,
di sebelah barat dengan Provinsi Maluku dan Maluku Utara, dan di sebelah timur dengan Negara
Papua New Guinea.
Keputusan politik penyatuan Papua menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia pada
hakikatnya mengandung cita-cita luhur. Namun kenyataannya berbagai kebijakan dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang sentralistik belum sepenuhnya memenuhi rasa
keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya
mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan
terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) di Provinsi Papua, khususnya masyarakat Papua. Kondisi tersebut
mengakibatkan terjadinya kesenjangan pada hampir semua sektor kehidupan, terutama dalam bidang
pendidikan, kesehatan, ekonomi, kebudayaan dan sosial politik.
Pelanggaran HAM, pengabaian hak-hak dasar penduduk asli dan adanya perbedaan pendapat mengenai
sejarah penyatuan Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah masalah-masalah yang
perlu diselesaikan. Upaya penyelesaian masalah tersebut selama ini dinilai kurang menyentuh akar
masalah dan aspirasi masyarakat Papua, sehingga memicu berbagai bentuk kekecewaan dan
ketidakpuasan.
Momentum reformasi di Indonesia memberi peluang bagi timbulnya pemikiran dan kesadaran baru
untuk menyelesaikan berbagai permasalahan besar bangsa Indonesia dalam menata kehidupan
berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Sehubungan dengan itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia menetapkan perlunya pemberian status Otonomi Khusus kepada Provinsi Irian
Jaya sebagaimana diamanatkan dalam Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis
Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004 Bab IV huruf (g) angka 2. Dalam Ketetapan MPR RI Nomor
IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, yang antara
lain menekankan tentang pentingnya segera merealisasikan Otonomi Khusus tersebut melalui
penetapan suatu undang-undang otonomi khusus bagi Provinsi Irian Jaya dengan memperhatikan
aspirasi masyarakat. Hal ini merupakan suatu langkah awal yang positif dalam rangka membangun
kepercayaan rakyat kepada Pemerintah, sekaligus merupakan langkah strategis untuk meletakkan
kerangka dasar yang kukuh bagi berbagai upaya yang perlu dilakukan demi tuntasnya penyelesaian
masalah-masalah di Provinsi Papua.
Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua pada dasarnya adalah pemberian kewenangan yang lebih luas
bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Kewenangan yang lebih luas berarti pula tanggung jawab yang lebih
besar bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengatur
pemanfaatan kekayaan alam di Provinsi Papua untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Papua
sebagai bagian dari rakyat Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan ini
berarti pula kewenangan untuk memberdayakan potensi sosial-budaya dan perekonomian masyarakat
Papua, termasuk memberikan peran yang memadai bagi orang-orang asli Papua melalui para wakil
adat, agama, dan kaum perempuan. Peran yang dilakukan adalah ikut serta merumuskan kebijakan
daerah, menentukan strategi pembangunan dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman
kehidupan masyarakat Papua, melestarikan budaya serta lingkungan alam Papua, yang tercermin
melalui perubahan nama Irian Jaya menjadi Papua, lambang daerah dalam bentuk bendera daerah dan
lagu daerah sebagai bentuk aktualisasi jati diri rakyat Papua dan pengakuan terhadap eksistensi hak
ulayat, adat, masyarakat adat, dan hukum adat.
Hal-hal mendasar yang menjadi isi Undang-Undang ini adalah:
Pertama, pengaturan kewenangan antara Pemerintah dengan Pemerintah Provinsi Papua serta
penerapan kewenangan tersebut di Provinsi Papua yang dilakukan dengan kekhususan;
Kedua, pengakuan dan penghormatan hak-hak dasar orang asli Papua serta pemberdayaannya
secara strategis dan mendasar; dan
Ketiga, mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik yang berciri:
a. partisipasi rakyat sebesar-besarnya dalam perencanaan, pelaksanaan dan
pengawasan dalam penyelenggaraan pemerintahan serta pelaksanaan
pembangunan melalui keikutsertaan para wakil adat, agama, dan kaum
perempuan;
b. pelaksanaan pembangunan yang diarahkan sebesar-besarnya untuk memenuhi
kebutuhan dasar penduduk asli Papua pada khususnya dan penduduk Provinsi
Papua pada umumnya dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip pelestarian
lingkungan, pembangunan berkelanjutan, berkeadilan dan bermanfaat langsung
bagi masyarakat; dan
c. penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan yang transparan
dan bertanggungjawab kepada masyarakat.
Keempat,
pembagian wewenang, tugas, dan tanggung jawab yang tegas dan jelas antara badan
legislatif, eksekutif, dan yudikatif, serta Majelis Rakyat Papua sebagai representasi
kultural penduduk asli Papua yang diberikan kewenangan tertentu.
Pemberian Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan,
penegakan supremasi hukum, penghormatan terhadap HAM, percepatan pembangunan ekonomi,
peningkatan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat Papua, dalam rangka kesetaraan dan
keseimbangan dengan kemajuan provinsi lain.
Undang-undang ini menempatkan orang asli Papua dan penduduk Papua pada umumnya sebagai
Subjek utama. Keberadaan Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, serta
perangkat di bawahnya, semua diarahkan untuk memberikan pelayanan terbaik dan pemberdayaan
rakyat. Undang-undang ini juga mengandung semangat penyelesaian masalah dan rekonsiliasi, antara
lain dengan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Pembentukan komisi ini dimaksudkan
untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang terjadi di masa lalu dengan tujuan memantapkan
persatuan dan kesatuan nasional Indonesia di Provinsi Papua.
Penjabaran dan pelaksanaan Undang-undang ini di Provinsi dan Kabupaten/Kota dilakukan secara
proporsional sesuai dengan jiwa dan semangat berbangsa dan bernegara yang hidup dalam nilai-nilai
luhur masyarakat Papua, yang diatur dalam Peraturan Daerah Khusus dan Peraturan Daerah Provinsi.
Peraturan Daerah Khusus dan/atau Peraturan Daerah Provinsi adalah Peraturan Daerah Provinsi Papua
yang tidak mengesampingkan peraturan perundang-undangan lain yang ada termasuk Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, sepanjang tidak diatur dalam
Undang-undang ini.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Kewenangan tertentu di bidang lain yang dimaksud dalam Undang-undang ini adalah kewenangan
Pemerintah yang meliputi: kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan
nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga
perekonomian negara, kewenangan pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia,
pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi dan standardisasi
nasional.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Dalam rangka percepatan pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia, Provinsi
Papua dapat menjalin hubungan yang saling menguntungkan dengan berbagai lembaga/badan di luar
negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hubungan tersebut memungkinkan Provinsi
Papua memiliki lembaga atau badan yang dibentuk oleh Pemerintah Provinsi atau swasta, yang
bertujuan memajukan pendidikan, meningkatkan investasi, dan mengembangkan pariwisata di Provinsi
Papua.
Ayat (8)
Koordinasi yang dilakukan oleh Gubernur dengan Pemerintah adalah dalam hal pelaksanaan kebijakan
tata ruang pertahanan untuk kepentingan pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan
pelaksanaan operasi militer selain perang di Provinsi Papua sesuai dengan peraturan perundangundangan.
Ayat (9)
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Ayat (1)
Huruf a
Proses pengajuan bakal calon, pemilihan, pengesahan dan pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur di
Provinsi Papua dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sesudah DPRP menetapkan
bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur, para bakal calon tersebut diajukan kepada MRP untuk
memperoleh pertimbangan dan persetujuan yang selanjutnya dijadikan dasar bagi DPRP untuk
kemudian ditetapkan menjadi calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Perjanjian atau kerja sama yang dimaksud di sini mencakup perjanjian atau kerja sama dengan pihak
ketiga baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang menyangkut perlindungan hak-hak orang asli
Papua.
Huruf e
Yang dimaksud dengan memfasilitasi tindak lanjut penyelesaian aspirasi dan pengaduan dalam
Undang-undang ini adalah tugas MRP untuk melakukan berbagai upaya penyelesaian dalam
membantu pihak-pihak pengadu.
Huruf f
Termasuk di dalamnya adalah pertimbangan MRP kepada DPRD Kabupaten/Kota dalam hal
penentuan bakal calon Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Rekrutmen politik dengan memprioritaskan masyarakat asli Papua tidak dimaksudkan untuk
mengurangi sifat terbuka partai politik bagi setiap warga negara Republik Indonesia.
Ayat (4)
Permintaan pertimbangan kepada MRP tidak berarti mengurangi kemandirian partai politik dalam hal
seleksi dan rekrutmen politik.
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Ayat (1)
Pembentukan Komisi Hukum Ad Hoc dimaksudkan untuk membantu Gubernur, DPRP, dan MRP
dalam menyiapkan rancangan Perdasus dan Perdasi sebagai tindak lanjut pelaksanaan Undang-undang
ini.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Angka 1)
Sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Angka 2)
Sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Angka 3)
Sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Huruf b
Angka 1)
Sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Angka 2)
Sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Angka 3)
Sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Angka 4)
Bagian Provinsi, Kabupaten/Kota dari penerimaan sumber daya alam sektor pertambangan minyak
bumi sebesar 15% ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan tambahan penerimaan
(setelah dikurangi pajak) sebesar 55% adalah dalam rangka Otonomi Khusus.
Angka 5)
Bagian Provinsi, Kabupaten/Kota dari penerimaan sumber daya alam sektor pertambangan gas alam
sebesar 30% ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan tambahan penerimaan
(setelah dikurangi pajak) sebesar 40% adalah dalam rangka Otonomi Khusus.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Pembangunan infrastruktur dimaksudkan agar sekurang-kurangnya dalam 25 (dua puluh lima) tahun
seluruh kota-kota Provinsi, Kabupaten/Kota, Distrik atau pusat-pusat penduduk lainnya terhubungkan
dengan transportasi darat, laut atau udara yang berkualitas, sehingga Provinsi Papua dapat melakukan
aktivitas ekonominya secara baik dan menguntungkan sebagai bagian dari sistem perekonomian
nasional dan global.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Cukup jelas
Ayat (9)
Cukup jelas
Ayat (10)
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Cukup jelas
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Sebagai bagian dari pembangunan berkelanjutan di Provinsi Papua, Pemerintah Provinsi berkewajiban
mengalokasikan sebagian dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Provinsi Papua yang diperoleh dari
hasil eksploitasi sumber daya alam Papua untuk ditabung dalam bentuk dana abadi, yang hasilnya
dapat dimanfaatkan untuk membiayai berbagai kegiatan pembangunan di masa mendatang.
Pasal 39
Yang dimaksud dengan pengolahan lanjutan dalam Undang-undang ini adalah pengolahan bahan baku
yang dihasilkan dari pemanfaatan sumber daya alam Papua misalnya: sektor migas, pertambangan
umum, kehutanan, perikanan laut, serta hasil-hasil pertanian pada umumnya. Pengolahan lanjutan ini
ditujukan untuk meningkatkan nilai tambah dari sumber-sumber tersebut yang berdampak positif bagi
penerimaan Provinsi, penciptaan lapangan kerja, peningkatan pemanfaatan dan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, serta pemanfaatan lainnya. Usaha pengolahan lanjutan ini dilakukan
dengan mempertimbangkan kepentingan masyarakat di Papua dan tetap berpegang pada prinsip-prinsip
ekonomi yang sehat, efisien, dan kompetitif.
Pengolahan lanjutan dalam rangka pemanfaatan sumber daya alam dimaksud dalam Pasal ini dapat
dilaksanakan di Provinsi Papua apabila memenuhi prinsip-prinsip ekonomi tersebut. Hal ini
mengandung arti bahwa apabila pengolahan lanjutan dalam rangka pemanfaatan sumber daya alam
tersebut belum memenuhi prinsip-prinsip ekonomi, pengolahan lanjutan tersebut dapat dilaksanakan di
wilayah lain untuk tetap memanfaatkan peluang investasi yang ada bagi kesejahteraan masyarakat
Papua, dengan memperhatikan prinsip-prinsip pelestarian lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.
Dalam rangka mendorong peningkatan investasi di wilayah Provinsi Papua, Pemerintah dan
Pemerintah Provinsi Papua wajib membuat kebijakan yang kondusif.
Pasal 40
Ayat (1)
Untuk menjamin kepastian dan perlindungan hukum bagi dunia usaha, maka perizinan dan perjanjian
kerja sama yang telah dilakukan sebelum Undang-undang ini ditetapkan, dinyatakan tetap berlaku
sampai dengan berakhirnya masing-masing perizinan atau perjanjian kerja sama dimaksud.
Yang dimaksud dengan "dilakukan" dalam ayat ini diartikan "dikeluarkan".
Ayat (2)
Cacat hukum dan/atau merugikan hak-hak hidup masyarakat serta bertentangan dengan Undangundang
ini harus dibuktikan dan dinyatakan dalam putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap.
Putusan pengadilan dimaksud memuat pernyataan mengenai salah satu pertimbangan hukum
keputusannya, bahwa perizinan atau perjanjian yang bersangkutan cacat hukum atau merugikan hak
hidup masyarakat.
Suatu perjanjian yang oleh keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
dinyatakan cacat hukum dapat dilakukan peninjauan kembali melalui perumusan ulang tentang apa
yang harus diperjanjikan sepanjang memberikan keuntungan kepada masyarakat dan bahkan mengenai
hal-hal yang seharusnya diperjanjikan lagi demi kepentingan yang berkelanjutan.
Adapun mengenai akibat hukum karena pembatalan perjanjian itu dapat disomasi untuk perumusan
ulang hal-hal yang diperjanjikan sehingga pelaksanaan putusan tidak lagi dilakukan secara
konvensional tetapi diubah menjadi materi muatan perjanjian.
Apabila kedua belah pihak bersepakat, maka suatu perizinan atau perjanjian kerja sama dapat diubah,
diperbaiki, atau diakhiri.
Pasal 41
Ayat (1)
Penyertaan modal yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
atau perusahaan swasta yang berdomisili dan beroperasi di Provinsi Papua dilakukan melalui penilaian
secara saksama tentang keuntungan atau kerugian yang dapat ditimbulkan dengan berpedoman pada
mekanisme pasar dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Pemberian kesempatan berusaha sebagai upaya pemberdayaan masyarakat adat dapat berupa
penyertaan modal dalam bentuk penilaian terhadap berbagai hak yang melekat pada masyarakat adat
tertentu, antara lain berupa hak ulayat.
Pasal 43
Ayat (1)
Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat ini juga merupakan kewajiban Pemerintah yang
dilaksanakan oleh Gubernur selaku wakil Pemerintah.
Pemberdayaan hak-hak tersebut meliputi pembinaan dan pengembangan yang bertujuan meningkatkan
taraf hidup baik lahiriah maupun batiniah warga masyarakat hukum adat.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan hak-hak masyarakat adat meliputi hak bersama warga masyarakat seperti yang
dikenal dengan sebutan hak ulayat dan hak perorangan warga masyarakat hukum adat.
Ayat (3)
Hak ulayat adalah hak bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Subjek hak
ulayat adalah masyarakat hukum adat tertentu, bukan perseorangan, dan juga bukan penguasa adat,
meskipun banyak di antara mereka yang menjabat secara turun temurun. Penguasa adat adalah
pelaksana hak ulayat yang bertindak sebagai petugas masyarakat hukum adatnya dalam mengelola hak
ulayat di wilayahnya.
Hak ulayat diatur oleh hukum adat tertentu dalam masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
Kenyataannya dewasa ini keberadaan hak ulayat berbagai masyarakat hukum adat tersebut beragam,
sehubungan dengan perkembangan sosial dan ekonomi masyarakat hukum adatnya sendiri baik karena
pengaruh intern maupun lingkungannya.
Hak ulayat diakui oleh hukum tanah nasional, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, tetapi hak
ulayat yang sudah tidak ada tidak akan dihidupkan kembali. Sehubungan dengan itu, demi adanya
kepastian mengenai masih adanya hak ulayat di lingkungan masyarakat adat tertentu, yang dibuktikan
oleh: (1) masih adanya sekelompok warga masyarakat yang merasa terikat oleh tatanan hukum adat
tertentu sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum yang merupakan suatu masyarakat hukum
adat; (2) masih adanya suatu wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hukum dan penghidupan
sehari-hari para warga masyarakat hukum adat tersebut; dan (3) masih adanya penguasa adat yang
melaksanakan ketentuan hukum hak ulayatnya.
Pengakuan, penghormatan dan perlindungan dalam ayat ini mencakup pula pengakuan, penghormatan
dan perlindungan terhadap pihak-pihak yang telah memperoleh hak atas tanah bekas hak ulayat secara
sah menurut tata cara dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan karenanya tidak dapat
digugat kembali oleh ahli warisnya demi kepastian hukum.
Ayat (4)
Musyawarah antara para pihak yang memerlukan tanah ulayat dari masyarakat hukum adat yang
bersangkutan mendahului penerbitan surat izin perolehan dan pemberian hak oleh instansi yang
berwenang. Kesepakatan hasil musyawarah tersebut merupakan syarat bagi penerbitan surat izin dan
keputusan pemberian hak yang bersangkutan. Hal yang sama berlaku juga terhadap perolehan tanah
hak perorangan para warga masyarakat hukum adat, tidak cukup dengan persetujuan penguasa adatnya.
Pemanfaatan hak-hak adat untuk kepentingan pemerintah dan/atau swasta dilakukan melalui
musyawarah antara masyarakat adat dengan pihak yang memerlukan, harus disertai dengan pemberian
ganti rugi dalam bentuk uang tunai, tanah pengganti, pemukiman kembali, sebagai pemegang saham,
atau bentuk lain yang disepakati bersama.
Ayat (5)
Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota sebagai instansi yang paling mengetahui hal-ihwal sengketa
yang terjadi di wilayahnya berkewajiban melakukan mediasi aktif dalam penyelesaian sengketasengketa
yang timbul di antara masyarakat hukum adat atau warganya dengan pihak luar.
Sengketa antara para warga masyarakat hukum adat sendiri diselesaikan melalui peradilan adat
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini.
Pasal 44
Hak kekayaan intelektual orang asli Papua berupa hak cipta mencakup hak-hak dalam bidang kesenian
yang terdiri dari seni suara, tari, ukir, pahat, lukis, anyam, tata busana dan rancangan bangunan
tradisional serta jenis-jenis seni lainnya, maupun hak-hak yang terkait dengan sistem pengetahuan dan
teknologi yang dikembangkan oleh masyarakat asli Papua, misalnya obat-obatan tradisional dan yang
sejenisnya. Perlindungan ini meliputi juga perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual anggota
masyarakat lainnya di Provinsi Papua.
Pasal 45
Cukup jelas
Pasal 46
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Langkah-langkah rekonsiliasi mencakup pengungkapan kebenaran, pengakuan kesalahan, permintaan
maaf, pemberian maaf, perdamaian, penegakan hukum, amnesti, rehabilitasi, atau alternatif lain yang
bermanfaat dan dengan memperhatikan rasa keadilan dalam masyarakat untuk menegakkan persatuan
dan kesatuan bangsa.
Ayat (3)Dalam usulan Gubernur untuk keanggotaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dapat berasal
dari DPRP dan MRP serta komponen lain.
Pasal 47
Kata memberdayakan bermakna meningkatkan keberdayaan.
Pasal 48
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Kebijakan yang perlu dikoordinasikan kepada Gubernur Provinsi Papua adalah kebijakan keamanan
yang mencakup aspek ketertiban dan ketenteraman masyarakat.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang penuh memberhentikan Kepala Kepolisian
Provinsi Papua tanpa meminta persetujuan Gubernur Provinsi Papua dan dalam hal-hal tertentu
Gubernur Papua dapat memberi pertimbangan kepada Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
untuk memberhentikan Kepala Kepolisian Provinsi Papua.
Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 49
Cukup jelas
Pasal 50
Ayat (1)
Pelaksanaan kekuasaan kehakiman di Provinsi Papua sesuai dengan peraturan perundang-undangan,
membutuhkan pelayanan hukum secara khusus. Dalam hal demikian dan untuk mempercepat
perolehan kepastian hukum, khususnya terhadap perkara kasasi, Mahkamah Agung dapat
mempertimbangkan kebijakan khusus bagi penyelesaian perkara kasasi dari Provinsi Papua.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 51
Ayat (1)
Dalam ayat ini secara tegas diakui keberadaan dalam hukum nasional, lembaga peradilan dan
pengadilan adat yang sudah ada di Provinsi Papua, sebagai lembaga peradilan perdamaian antara para
warga masyarakat hukum adat di lingkungan masyarakat hukum adat yang ada.
Ayat (2)
Pengadilan adat bukan badan peradilan negara, melainkan lembaga peradilan masyarakat hukum adat.
Berdasarkan kenyataan yang ada, susunannya diatur menurut ketentuan hukum adat masyarakat hukum
adat setempat dan memeriksa serta mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana adat
berdasarkan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Hal itu antara lain mengenai
susunan pengadilannya, siapa yang bertugas memeriksa dan mengadili sengketa dan perkara yang
bersangkutan, tata cara pemeriksaan, pengambilan keputusan dan pelaksanaannya. Pengadilan adat
tidak berwenang menjatuhkan hukuman pidana penjara atau kurungan.
Pengadilan adat tidak berwenang memeriksa dan mengadili sengketa perdata dan perkara pidana yang
salah satu pihak yang bersengketa atau pelaku pidana bukan warga masyarakat hukum adatnya. Hal itu
termasuk kewenangan di lingkungan peradilan negara. Dengan diakuinya peradilan adat dalam
Undang-undang ini, akan banyak sengketa perdata dan perkara pidana di antara warga masyarakat
hukum adat di Provinsi Papua yang secara tuntas dapat diselesaikan sendiri oleh warga yang
bersangkutan tanpa melibatkan pengadilan di lingkungan peradilan negara.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Putusan pengadilan adat merupakan putusan yang final dan berkekuatan hukum tetap dalam hal para
pihak yang bersengketa atau yang berperkara menerimanya. Putusan yang bersangkutan juga dapat
membebaskan pelaku dari tuntutan pidana menurut ketentuan hukum pidana yang berlaku. Pernyataan
persetujuan pelaksanaan putusan dari Ketua Pengadilan Negeri yang mewilayahinya diperoleh melalui
Kepala Kejaksaan Negeri yang bersangkutan. Jika pernyataan persetujuan pelaksanaan putusan telah
diperoleh maka kejaksaaan tidak dapat melakukan penyidikan dan penuntutan.
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Dalam hal Ketua Pengadilan Negeri menolak memberikan pernyataan persetujuan pelaksanaan
putusan, maka kepolisian dan kejaksaan dapat melakukan penyidikan dan penuntutan. Dalam hal ini
putusan pengadilan adat yang bersangkutan akan dijadikan bahan pertimbangan dalam memutuskan
perkara yang diajukan. Dalam ayat ini dibuka kemungkinan pemeriksaan ulang dalam hal salah satu
pihak yang bersengketa atau berperkara berkeberatan atas putusannya dan mengajukan sengketa atau
perkaranya kepada pengadilan tingkat pertama di lingkungan badan peradilan yang berwenang.
Pasal 52
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Persetujuan yang diberikan oleh Gubernur kepada Jaksa Agung Republik Indonesia, tidak mencampuri
teknis kepegawaian.
Ayat (3)
Jaksa Agung berwenang penuh memberhentikan Kepala Kejaksaan Tinggi Provinsi Papua tanpa
meminta persetujuan Gubernur dan dalam hal-hal tertentu Gubernur Provinsi Papua dapat memberi
pertimbangan kepada Jaksa Agung untuk memberhentikan Kepala Kejaksaan Tinggi.
Pasal 53
Cukup jelas
Pasal 54
Cukup jelas
Pasal 55
Cukup jelas
Pasal 56
Ayat (1)
Khusus terhadap lembaga pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi yang memiliki otonomi
perguruan tinggi, tanggung jawab Pemerintah Provinsi dalam ikut membiayai penyelenggaraan
pendidikan merupakan perwujudan dari upaya pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia,
baik pada aspek jumlah maupun mutu, bagi pembangunan di Provinsi Papua.
Ayat (2)
Pemerintah memiliki tanggung jawab utama dalam penyelenggaraan pendidikan nasional, sehingga
berkewajiban untuk menetapkan kebijakan-kebijakan umum pendidikan yang berlaku secara nasional
dengan standar pendidikan yang sama, yang antara lain tercermin dalam kurikulum inti dan standar
mutu. Dengan demikian ada pengakuan yang sama terhadap hasil pendidikan yang diselenggarakan di
semua wilayah, termasuk di Provinsi Papua, yang memungkinkan terjadinya keluwesan dan kebebasan
para peserta didik dari lembaga pendidikan di Papua berpindah dan mengikuti pendidikan yang
diminati di provinsi lain.
Mengingat kondisi sosial budaya, potensi ekonomi, dan keinginan anggota masyarakat yang beragam
di Papua, selain kurikulum inti, dikembangkan
pula kurikulum institusional dengan standar lokal yang berlaku di Provinsi Papua, baik pada jalur
sekolah maupun pada jalur luar sekolah, sehingga hasil pendidikan yang dicapai relevan dengan
kebutuhan.
Ayat (3)
Dengan pendidikan yang bermutu dimaksudkan bahwa pendidikan di Provinsi Papua harus
dilaksanakan secara baik dan bertanggung jawab sehingga menghasilkan lulusan yang memiliki derajat
mutu yang sama dengan pendidikan yang dilaksanakan di provinsi lain. Mengingat masih rendahnya
mutu sumber daya manusia Papua dan pentingnya mengejar kemajuan di bidang pendidikan, maka
pemerintah daerah berkewajiban membiayai seluruh atau sebagian biaya pendidikan bagi putra putri
asli Papua pada semua jenjang pendidikan.
Ayat (4)
Pendidikan di Provinsi Papua telah lama diselenggarakan oleh Lembaga Keagamaan antara lain
Yayasan Pendidikan Kristen (YPK), Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Katolik (YPPK), Yayasan
Pendidikan dan Persekolahan Gereja-gereja Injili (YPPGI), Yayasan Pendidikan Advent (YPA),
Yayasan Pendidikan Islam (Yapis), dan yayasan lainnya yang didirikan oleh masyarakat. Jumlah
sekolah yang dimiliki oleh lembaga-lembaga pendidikan swasta ini cukup banyak dan tersebar hingga
ke daerah-daerah yang terpencil, sehingga peranan mereka dalam bidang pendidikan tetap dihormati
dan terus ditingkatkan, sedangkan dunia usaha, terutama yang berskala besar, didorong untuk
menyelenggarakan pendidikan yang berpedoman pada kebijakan nasional dengan biaya dari
perusahaan yang bersangkutan.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 57
Cukup jelas
Pasal 58
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar pada jenjang pendidikan dasar di samping
bahasa Indonesia.
Pasal 59
Ayat (1)
Pelayanan kesehatan yang berkualitas dilaksanakan secara merata dan menjangkau seluruh lapisan
masyarakat di pelosok Provinsi Papua.
Ayat (2)
Penyakit-penyakit endemis yang dimaksud pada ayat ini meliputi antara lain penyakit malaria dan
TBC.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan beban masyarakat serendah-rendahnya adalah biaya pelayanan kesehatan
disesuaikan dengan kemampuan ekonomi termasuk pembebasan biaya pelayanan bagi mereka yang
tidak mampu.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 60
Cukup jelas
Pasal 61
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Kebijakan kependudukan yang dimaksud dalam ayat ini adalah pemberian fasilitas khusus dalam
bentuk kebijakan afirmatif termasuk dalam hal migrasi untuk kurun waktu tertentu agar penduduk asli
Papua dapat mengembangkan kemampuan dan meningkatkan partisipasi secara optimal dalam waktu
secepat-cepatnya.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 62
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pengutamaan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan bagi orang asli Papua merupakan suatu
langkah afirmatif dalam rangka pemberdayaan di bidang ketenagakerjaan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 63
Cukup jelas
Pasal 64
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan lembaga swadaya masyarakat yang memenuhi syarat adalah lembaga swadaya
masyarakat yang keberadaannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 65
Ayat (1)
Kewajiban Pemerintah Provinsi dimaksud tidak menghilangkan kewajiban Pemerintah, Pemerintah
Kabupaten, dan Pemerintah Kota sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Penyandang masalah sosial yang dimaksud meliputi antara lain:
a. anak-anak yatim piatu;
b. orang lanjut usia yang memerlukan;
c. kaum cacat fisik dan mental; dan
d. korban bencana alam.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 66
Ayat (1)
Suku yang terabaikan adalah kelompok masyarakat asli Papua yang mendiami wilayah tertentu yang
belum tersentuh oleh pembangunan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 67
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pengawasan sosial adalah pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap pelaksanaan tugas
MRP, DPRP, Gubernur dan perangkatnya dalam bentuk petisi, kritik, protes, saran dan usul, yang
diatur lebih lanjut dalam Perdasus.
Pasal 68
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pemerintah Provinsi Papua menyampaikan Perdasus, Perdasi, dan Keputusan Gubernur selambatlambatnya
1 (satu) bulan setelah ditetapkan.
Dalam rangka melakukan pengawasan represif, Pemerintah dapat membatalkan Perdasus, Perdasi, dan
Keputusan Gubernur apabila bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
atau kepentingan umum masyarakat Papua. Keputusan pembatalan tersebut diberitahukan kepada
Pemerintah Provinsi disertai dengan alasan-alasannya.
Dalam hal Pemerintah Provinsi tidak dapat menerima keputusan pembatalan tersebut, Pemerintah
Provinsi dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung.
Apabila Mahkamah Agung membenarkan gugatan tersebut, maka Perdasus, Perdasi, dan Keputusan
Gubernur tetap berlaku.
Selama belum ada keputusan Mahkamah Agung terhadap gugatan tersebut, maka Perdasus, Perdasi,
dan Keputusan Gubernur tersebut ditangguhkan.
Apabila dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak diterimanya gugatan tersebut oleh Mahkamah Agung
tidak diperoleh keputusan, maka Perdasus, Perdasi, dan Keputusan Gubernur tersebut diberlakukan
kembali.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 69
Cukup jelas
Pasal 70
Cukup jelas
Pasal 71
Cukup jelas
Pasal 72
Cukup jelas
Pasal 73
Cukup jelas
Pasal 74
Cukup jelas
Pasal 75
Cukup jelas
Pasal 76
Cukup jelas
Pasal 77
Cukup jelas
Pasal 78
Cukup jelas
Pasal 79
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4151